BAB
I
KONSEP
EVALUASI PROGRAM
A. PENGERTIAN PROGRAM DAN EVALUASI PROGRAM
Ada
tiga istilah yang digunakan dan perlu disepakati pemakaiannya, sebelum
disampaikan uraian lebih jauh tentang evaluasi program, yaitu “evaluasi”
(evaluation), “pengukuran” (measurement), dan “penilaian” (asessment).
Evaluasi
berasal dari kata evaluation (bahasa inggris). Kata tersebut diserap kedalam
perbendaharaan istilah bahasa indonesia
dengan tujuan mempertahankan kata aslinya dengan sedikit penyesuaian lafal
indonesia menjadi “evaluasi”. Istilah “penilaian” merupakan kata benda dari
“nilai”. Pengertian “pengukuran” mengacu pada kegiatan membandingkan sesuatu
hal dengan satuan ukuran tertentu, sehingga sifatnya menjadi kuantitatif.
Bagaimanakah
kita mengartikan “evaluasi”? Ada beberapa kamus yang dapat dijadikan acuan.
Definisi yang dituliskan dalam kamus Oxford Advanced Learner’s Dictionary of
Current English (AS Hornby, 1986) evaluasi adalah to find out, decide
the amount or value yang artinya suatu upaya untuk menentukan nilai atau
jumlah. Selain arti berdasarkan terjemahan, kata –kata yang terkandung di dalam
definisi tersebut pun menunjukkan bahwa kegiatan evaluasi harus dilakukan
secara hati-hati, bertanggung jawab, menggunakan strategi, dan dapat
dipertanggung jawabkan.
Suchman
(1961, dalam anderson 1975) memandang
evaluasi sebagai sebuah proses menentukan hasil yang telah dicapai beberapa
kegiatan yang direncanakan untuk mendukung tercapainya tujuan. Definisi lain
dikemukakan oleh Worthen dan Sanders (1973, dalam anderson 1971). Dua ahli
tersebut mengatakan bahwa evaluasi adalah kegiatan mencari sesuatu yang
berharga tentang sesuatu; dalam mencari sesuatu tersebut, juga termasuk mencari
informasi yang bermanfaat dalam menilai keberadaan suatu program, produksi,
prosedur, serta alternatif strategi yang diajukan untuk mencapai tujuan yang
sudah ditentukan. Seorang ahli yang sangat terkenal dalam evaluasi program
bernama Stufflebeam (1971), dalam Fernandes 1984) mengatakan bahwa evaluasi
merupakan proses penggambaran, pencarian dan pemberian informasi yang sangat
bermanfaat bagi pengambilan keputusan dalam menentukan alternatif keputusan.
Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan
bahwa evaluasi adalah kegiatan untuk mengumpulkan informasi tentang bekerjanya
sesuatu, yang selanjutnya informasi tersebut digunakan untuk menentukan
alternatif yang tepat dalam mengambil sebuah keputusan.
Sampai
kira-kira tahun 1974 masyarakat masih menganggap bahwa evaluasi pendidikan
terbatas pengertiannya pada penilaian hasil belajar. Dasar pemikiran yang
digunakan adalah bahwa pendidikan merupakan upaya memberikan satu perlakuan
pembelajaran kepada peserta didik. Kesuksesan hasil belajar mereka dapat
diketahui melalui kegiatan penilaian. Dibalik dasar pemikiran tersebut terdapat
pula anggapan bahwa upaya pendidik dalam menyelenggarakan kegiatan pembelajaran
adalah kunci keberhasilan untuk mencapai hasil belajar merupakan hubungan lurus
atau linier. Apabila digambarkan dalam
bagan, hubungan antarakeduanya adalah sebagai berikut:
Gambar
1.
Hubungan linier antara pembelajaran dengan hasil belajar
Setelah
para pendidik merasakan, mencermati keadaan, dan tidak henti-hentinya
mengadakan penelitian, diketahui bahwa pembelajaran bukanlah satu-satunya
penentu keberhasilan dalam mencapai prestasi belajar. Ada hal lain yang juga
berpengaruh dan menetukan tinggi rendahnya prestasi belajar peserta didik,
yaitu:
1. Keadaan
fisik dan psikis siswa, yang ditunjukkan oleh IQ (Kecerdasan Intelektual), EQ
(Kecerdasan emosi), kesehatan, motivasi, ketekunan, ketelitian, keuletan, dan
minat.
2. Kapasitas
guru yang mengajar dan membimbing siswa, seperti latar belakang pendidikan,
penguasaan keilmuan, baik konten maupun metodologis, dan kemampuan mengajar.
3. Sarana
pendidikan, yaitu ruang tempat belajar,alat-alat belajar, media yang digunakan
guru, dan buku sumber belajar.
Dari
tiga contoh faktor yang sudah
dikemukakan diatas dapat di tarik kesimpulan bahwa hubungan antara
pembelajaran dengan hasil prestasi siswa bukan hanya bersifat garis lurus,
tetapi bisa bercabang dari faktor-faktor lain. Misalnya faktor siswa, guru dan
sarana belajar yang berpengaruh terhadap prestasi belajar siswa. Hubungan ini
digambarkan seperti berikut:
Gambar
2.
Bagan skematis sistem/Program Pembelajaran
Ada dua pengertian untuk istilah
“Program”, yaitu pengertian secara khusus dan umum. Menurut pengertian secara
umum, “Program” dapat diartikan sebagai “rencana”.
Apabila program ini langsung dikaitkan
dengan evaluasi program maka program didefinisikan sebagai suatu unit atau
kesatuan kegiatan yang merupakan realisasi atau implementasi dari suatu
kebijakan, berlangsung dalam proses yang berkesinambungan, dan terjadi dalam
suatu organisasi yang melibatkan sekelompok orang. Ada tiga pengertian penting
dan perlu ditekankan dalam menentukan program yaitu: (1) realisasi atau implementasi suatu
kebijakan, (2) terjadi dalam waktu relatif lama- bukan kegiatan tunggal tetapi
jamak berkesinambungan, dan (3) terjadi dalam organisasi yang melibatkan sekelompok orang.
Sebuah program bukan hanya kegiatan
tunggal yang dapat diselesaikan dalam waktu singkat, tetapi merupakan kegiatan
yang berkesinambungan karena melaksanakan suatu kebijakan. Oleh karena
itu, sebuah program dapat berlangsung
dalam kurun waktu relatif lama. Pengertian program adalah suatu unit atau
kesatua kegiatan maka program merupakan sebuah sistem, yaitu rangkaian kegiatan
yang dilakukan bukan hanya satu kali tetapi berkesinambungan. Pelaksanaan
program selalu terjadi didalam sebuah organisasi yangartinya harus melibatkan sekelompok
orang. Pengertian program yang di kemukakan diatas adalah pengertian secara umum.
Selain mengandung tiga pengertian, ada
pula program-program tertentu yang menunjukkan ciri lain, yaitu adanya kegiatan
jamak yang merupakan rangkaian. Untuk memperjelas pengertian “jamak berangkai”,
coba bandingkan beberapa kegiatan tunggal dan jamak berikut. Kegiatan menulis,
berjalan, tidur, adalah sekali dilakukan selesai, dan tidak berada dalam uruan
proses. Bandingkan dengan memasak, memasak adalah kegiatan jamak, karena untuk
dapat memasak harus ada yang dibeli dan dimasak. Sesudah memasak hasil
masakannya dimakan.
Pembelajaran adalah kegiatan jamak
karena melalui urutan dari penyusunan kurikulum di pusat, pembuatan Analisis
Materi Pelajaran (AMP), pembuatan rencana mengajar, pelaksanaan kegiatan
belajar mengajar, yaitu pembelajaran dan evaluasi prestasi belajar. Di dalam
proses tersebut kegiatan awal yang mendahului merupakan faktor penentu
keberhasilan kegiatan berikutnya.
Apa alasan melakukan evaluasi program
dan sejak kapankah evaluasi program mulai populer? Menurut Fernandes (1984),
pemikiran secara serius tentang evaluasi program dimulai sekitar tahun delapan
puluhan. Sejak tahun 1979-an telah terjadi perkembangan sehubungan dengan
konsep-konsep yang berkenaan dengan evaluasi program, sebagai contoh teori yang
dikemukakan oleh Cronbach (1982, dalam Fernandes 1984) tentang pentingnya
sebuah rangcangan dalam kegiatan evaluasi program.
Makna dari evaluasi program itu sendiri
mengalami proses pemantapan. Defenisi yang terkenal untuk evaluasi program
dikemukakan oleh Ralp Tyler, yang mengatakan bahwa evaluasi program adalah
proses untuk mengetahui apakah tujuan pendidikan sudah dapat terealisasikan
(Tyler, 1950). Defenisi yang lebih diterima masyarakat luas dikemukakan oleh
dua orang ahli evaluasi, yaitu Cronbach (1963) dan Stufflebeam (1971). Mereka
mengemukakan bahwa evaluasi program adalah upaya menyediakan informasi untuk
disampaikan kepada pengambil keputusan. Sehubungan dengan defenisi tersebut The
Standford Evaluation Consorsium Group menegaskan bahwa meskipun evaluator
menyediakan informasi, evaluator bukanlah pengambil keputusan tentang suatu
program (Cronbach, 1982).
Ronal G. Schnee (1977, dalam Gilbert Sax
1975) mengatakan bahwa karena alasan politik dan sosial evaluator program
sering dihadapkan pada sebuah dilema pertimbangan etis. Dari hasil
penelitian schnee menyimpulkan adanya sebelas isu, yaitu:
1. Otonomi
Isu
ini terkait dengan sikap personel yang terlibat dalam program, misalnya guru
dan kepala sekolah. Bagaimana mereka tidak terpengaruh dengan keinginan
menyanjung program ketika diminta untuk mengevaluasi?
2. Hubungan
dengan klien
Isu
ini menyangkut evaluator ketika melaksanakan evaluasi harus bekerja sama dengan
klien, yaitu orang –orang yang ada di dalam program.
3. Kenyataan
politik dan konteks sosial
Dalam
mengevaluasi program evaluator tidak boleh mengabaikan kejadian politik dan
sosial, agar hasil kerja evaluasi dapat bermanfaat.
4. Nilai
yang dimilki evaluator
Dalam
melaksanakan evaluasi tidak mungkin evaluator dapat melepaskan diri dari
nilai-nilai yang dianut dan dijadikan pedoman hidupnya.
5. Pemilihan
rancangan dan metodologi
Untuk
memperoleh hasil yang maksimal dari kerja evaluasi, seyogjanya evaluator dapat
mempertimbangkan berbagai unsur dan mengadakan kompromi.
6. Memberikan
kesempatan kepadaorang lain untuk menelaah (review) rancangan. Alasan untuk
mengadakan titik ulang adalah mengurangi adanya bias dan pemborosan.
7. Kejujuran
mengakui keterbatasan dan hambatan
Laporan
evaluasi harus mencantumkan penjelasan tentang hal-hal yang dihadapi evaluator
sebagai akibat adanya keterbatasan dan hambatan.
8. Hasil
negatif
Evaluator
perlu menyertakan hasil negatif agar data yang dilaporkan lengkap dan berguna
untuk meningkatkan program.
9. Penyebaran
hasil
Mengingat
tujuan evaluasi program adalah mengumpulkan informasi bagi tindak lanjut
program maka hasil evaluasi sangat perlu untuk disebar luaskan.
10. Perlindungan
dan pelanggaran
Program
merupakan hasil kebijakan yang diatur oleh peraturan. Oleh karena itu, evaluasi
tidak boleh melanggar hal yang dilindungi.
11. Penolakan
terhadap kontrak
Meskipun
evaluasi ini penting namun pelaksana program berhak menolak evaluator dengan
alasan yang tepat.
1.
Kaitan antara Penelitian dengan Evaluasi Program
Dilihat dari tujuannya, yaitu bahwa
pelaksana ingin mengetahui kondisi sesuatu, maka evaluasi program dapat
dikatakan merupakan salah satu bentuk dari penelitian, yaitu penelitian
evaluatif. Oleh karena itu, dalam pembicaraan evaluasi program, pelaksana
berpikir dan menentukan langkah sebagaimana melaksanakan penelitian. Perbedaan
yang mencolok antara penelitian dengan evaluasi program adalah sebagai berikut:
1. Dalam
kegiatan penelitian, peneliti ingin mengetahui gambaran tentang sesuatu
kemudian gasilnya dideskripsikan, sedangkan dalam evaluasi program, pelaksana
ingin mengetahui seberapa tinggi mutu atau kondisi sesuatu sebagai hasil
pelksanaan program, setelah data yang terkumpul dibandingkan dengan kriteria
atau standar tertentu.
2. Dalam
kegiatan penelitian peneliti dituntun oleh rumusan masalah karena ingin
mengetahui jawaban dari penelitiannya, sedangkan dalam evaluasi program
pelaksana ingin mengetahui tingkat ketercapaian tujuan program, dan apabila
tujuan belum tercapai sebagaimana ditentukan, pelaksana ingin mengetahui dimana
letak kekurangan itu dan apa sebabnya.
Dari uarian diatas maka dikatakan,
evaluasi program merupakan penelitian evaluatif. Pada umumnya penelitian
evaluatif dimaksudkan untuk mengetahui akhir dari sebuah program kebijakan.,
yaitu mengetahui hasil akhir dari adanya kebijakan, dalam rangka menentukan
rekomendasi atas kebijakan yang lalu, yang pada tujuan akhirnya adalah untuk
menetukan kebijakan selanjutnya. Mengingat betapa pentingnya sebuah rekomendasi
kebijakan, maka untuk penelitian evaluatif dituntut adanya persyaratan khusus
yang harus diikuti oleh penelitinya.
Satu pengertian pokok yang terkandung
dalam evaluasi adalah adanya standar, tolak ukur atau kriteria. Mengevaluasi
adalah melaksanakan upaya untuk mengumpulkan data mengenai kondisi nyata suatu
hapat diketahui, kemudian dibandingkan dengan kriteria, agar dapat diketahui
seberapa jauh atau seberapa tinggi kesenjangan yang ada antara kondisi nyata
tersebut dengan kriteria sebagai kondisi yang diharapkan. Penelitian
evaluatif bukan sekedar melakukan
evaluasi sebagaimana kegiatan evaluasi yang biasa atau yang pada umumnya
dilakukan untuk objek apa saja. Penelitian evaluatif merupakan kegiatan
evaluasi, tetapi mengikuti kaidah-kaidah yang berlaku bagi sebuah penelitian,
yaitu persyaratan keilmiahan, mengikuti sistematika dan metodologis secara
benar dan dapat dipertanggungjawabkan. Oleh karena itu , teori tentang
evaluatif tidak menyimpang dari teori penelitian pada umumnya.
2. Ciri – ciri dan Persyaratan Evaluasi Program
Sejalan dengan pengertian yang
terkandung didalamnya, maka evaluasi evaluatif memiliki ciri-ciri dan
persyaratan sebagai berikut:
1. Proses
kegiatan penelitian tidak menyimpang dari kaidah-kaidah yang berlaku bagi penelitian pada umumnya.
2. Dalam
melaksanakan evaluasi, peneliti harus berpikir secara sistematis, yaitu
memandang program yang diteliti sebagai sebuah kesatuan yang terdiri dari
beberapa komponen atau unsur yang saling berkaitan satu sama lain dalam
menunjang keberhasilan kinerja dari objek yang dievaluasi.
3. Agar
dapat mengetahui secara rinci kondisi dari objek yang dievaluasi, perlu adanya
identifikasi komponen yang berkedudukan sebagai faktor penentu bagi
keberhasilan program.
4. Menggunakan
standar, kriteria, atau tolak ukur sebagai perbandingan dalam menetukan kondisi
nyata dari data yang diperoleh dan untuk mengambil kesimpulan.
5. Kesimpulan
atau hasil penelitian digunakan sebagai masukan atau rekomendasi bagi sebuah
kebijakan atau rencana program yang telah ditentukan. Dengan kata lain, dalam
melakukan kegiatan evaluasi program, peneliti harus berkiblat pada tujuan
program kegiatan sebagai standar, kriteria dan tolak ukur.
6. Agar
informasi yang diperoleh dapat menggambarkan kondisi nyata secara rinci untuk
mengetahui bagian mana dari program yang belum terlaksana, maka perlu ada
identifikasi komponen yang dilanjutkan dengan identifikasi sub komponen, sampai
pada indikator dari program yang dievaluasi.
7. Standar,
kriteria, atau tolak ukur diterapkan pada indikator, yaitu bagian yang paling
kecil dari program agar dapat dengan cermat diketahui letak kelemahan dari
proses kegiatan.
8. Dari
hasil penelitian garus dapat disusun sebuah rekomendasi secara rinci dan akurat
sehingga dapat ditentukan tindak lanjut secara tepat.
B. KOMPONEN DAN INDIKATOR PROGRAM
Program merupakan sistem. Sedangkan
sistem adalah suatu kesatuan dan beberapa bagian atau komponen yang saling
kait- mengait dan bekerja sama satu dengan lainnya untuk mencapai tujuan yang
sudah ditetapkan dalam sistem. Dengan begitu program terdiri dari
komponen-komponen yang saling berkaitan dan saling menunjang dalam rangka
mencapai suatu tujuan.
Komponen program adalah bagian-bagian
program yang saling terkait dan merupakan faktor-faktor penentu keberhasilan
program. Karena suatu program merupakan sebuah
sistem maka komponen-komponen program dapat dipandang sebagai bagian
sistem dan dikenal dengan istilah “sub sistem”. Komponen atau sub sistem karena
merupakan bagian dari suatu program yang berupa kata benda, harus disebut dalam
kata benda. Andai kita ingin mengetahui sabar dan tidaknya seseorang maka yang
diukur bukan “sabar”, tetapi “kesabaran”. Jika akan mengetahui indah dan
tidaknya taman, yang diukur bukan “indah” tetapi “keindahan”. Jadi kata keadaan
atau kata sifat kalau distatuskan
sebagai komponen, harus diubah namanya dalam bentuk kata benda, atau dengan
kata lain harus dibedakan dahulu.
Menurut pengertian atau konsep umum, di
dalam sebuah sistem, subsistem yang ada saling berkaitan dan saling
mempengaruhi. Sistem itu sendiri berada didalam sebuah naungan yang lebih besar
yang dikenal dengan istilah “ suprasistem”. Dalam suprasistem, sistem-sistem
yang ada dibawah naungannya saling berkaitan dan bekerja sama menuju pencapaian
tujuan suprasistem dimaksud. Sebagai contoh kaitan antara suprasistem, sistem,
subsistem dalam dunia pendidikan adalah Departemen Pendidikan Nasional,
sekolah, dan pembelajaran dikelas.
Sudah dijelaskan bahwa dalam penelitian
evaluasi penting sekali bagi peneliti untuk dapat berpikir sistematik, yaitu
berpandangan bahwa program yang akan dievaluasi merupakan kumpulan dari beberapa
komponen atau unsur yang bekerja bersama –sama untuk mencapai tujuan program.
Oleh karena itu, komponen tersebut dapat dipandang sebagai unsur atau bagian,
tetapi mempnyai peranan penting sebagai faktor penentu keberhasilan program.
Dengan pengertian seperti itu maka peneliti evaluatif harus tahu secara tepat
apa yang dimaksud dengan komponen program. Sebelum memulai dengan kegiatannya,
peneliti harus mengadakan identifikasi komponen dari program yang dievaluasi.
Yang
dimaksud dengan komponen program adalah bagian-bagian yang menunjukkan nafas
penting dari keterlaksanaan program. Mungkin orang lebih senang menggunakan
istilah “unsur” dan ada pula yang menggunakan istilah “faktor”. Banyaknya
komponen untuk masing –masing program tidak sama, sangat tergantung dari
tingkat kompleksitas program yang bersangkutan.
Agar penjelasan tentang komponen dan
indikator menjadi lebih jelas, berikut disampaikan contoh sebuah program yang
berada dalam bidang pendidikan, yaitu program pembelajaran. Kita tahu bahwa
keberhasilan program pembelajaran sangat tergantung dari beberapa faktor
penting, yaitu (1) siswa, (2) guru, (3) materi/kurikulum, (4) sarana dan
prasarana, (5)pengelolaan, dan (6) lingkungan. Apabila salah satu saja dari
enam komponen tersebut kinerjanya kurang baik, pasti keberhasilan program
pembelajaran tidak akan maksimal. Masing –masing komponen harus baik
kinerjanya. Kegagalan dari program pembelajaran tidak dapat dibebankan pada
hanya satu atau dua faktor saja, tetapi harus diteliti komponen atau faktor mana
yang kinerjanya kurang baik. Komponen tersebut dapat dirinci lagi menjadi sub
komponen kemudian indikator, yang selanjutnya dapat lebih rinci lagi menjadi
subindikator.
Istilah indikator berasal dai kata
bahasa inggris to incate yang dalam bahasa indonesia berarti menunjukkan.
Jadi, indikator merupakan sesuatu yang
dapat menunjukkan kinerja dari sub komponen, dan selanjutnya menunjukkan
kinerja komponen. Untuk lebih jelasnya, disampaikan sebuah contoh identifikasi
dari program sampai dengan indikator. Misalnya kita melakukan penelitian
evaluatif terhadap program pembelajaran yang sudah dibicarakan diatas. Jika
dalam program pembelajaran sudah diterangkan terdapat enam komponen utama yang
merupakan faktor penentu keterlaksanaan program, yaitu (1) siswa, (2) guru, (3)
materi/kurikulum, (4) sarana dan prasarana, (5) manajemen atau pengelolaan, dan
(6) lingkungan, maka perlu di identifikasi subkomponen dan indikatornya. Dalam
contoh identifikasi komponen menjadi sub
komponen sampai dengan indikator ini kita harus menganalisis semua komponen
sampai pada indikator. Jika kita
mengidentifikasi komponen-komponen contoh diatas menjadi
indikator-indikator, maka diilustrasikan pada tabel berikut:
Tabel 1. Ilustrasi Identifikasi
Komponen, Subkomponen, dan Indikator Program Pengajaran
Program
|
Komponen
|
Sub
Komponen
|
Indikator
|
Pembelajaran
|
|
Kerajinan
|
1.
Selalu masuk sekolah
2.
Datang ke sekolah tidak terlambat
3.
Selalu mengerjakan tugas
4.
Menyerahkan tugas tepat waktu
5.
dst
|
|
Kedisiplinan
|
dst
|
|
|
Semangat belajar
|
dst
|
|
|
motivasi
|
dst
|
|
|
Minat
|
dst
|
|
|
Pengaturan waktu
|
dst
|
|
Guru
|
Kemampuan menyusun ranpel
|
dst
|
|
|
|
Penguasaan materi
|
dst
|
|
Materi/kurikulum
|
dst
|
dst
|
|
Sarana/prasarana
|
dst
|
dst
|
|
Manajemen
|
dst
|
dst
|
|
Lingkungan
|
dst
|
dst
|
C. MANFAAT EVALUASI PROGRAM
Dalam organisasi pendidikan, evaluasi
program dapat disamaartikan dengan kegiatan supervisi. Secara singkat, supervisi
diartikan sebagai upaya mengadakan peninjauan untuk memberikan pembinaan maka
evaluasi program adalah langkah awal dalam supervisi, yaitu mengumpulkan data
yang tepat agar dapat dilanjutkan dengan pemberian pembinaan yang tepat pula.
Kesalahan yang terjadi dimasyarakat
beberapa waktu yang lalu, yaitu supervisi hanya menekankan aspek ketatausahaan
saja. Jika konsepnya seperti itu maka ada perbedaan antara evaluasi program
dengan supervisi. Jika supervisi dilembaga pendidikan dilakukan dengan objek
buku-buku dan pekerjaan clerical work maka evaluasi program dilakukan
dengan objek lembaga pendidikan secara keseluruhan. Kebijakan suvervisi yang
berlangsung saat ini dapat dikatakan sama dengan evaluasi program, tetapi
sasarannya ditekankan pada kegiatan pembelajaran. Dengan kata lain, prestasi
belajar menjadi titik pusat perhatian. Oleh karena tujuan utamanya
memperhatikan prestasi belajar bidang studi atau mata pelajaran maka supervisor
(yang didalam praktik disebut pengawas), disyaratkan memiliki latar belakang
bidang studi tertentu dan harus memiliki pengalaman menjadi guru. Dilihat dari
ruang lingkupnya, supervisi dibedakan menjadi tiga, yaitu (1) supervisi
kegiatan pembelajaran, (2) supervisi kelas, dan (3) supervisi sekolah.
Berdasarkan pengertian tadi, supervisi
sekolah yang diartikan sebagai evaluasi program, dapat disamaartikan dengan
validasi lembaga dan akreditasi. Evaluasi program merupakan langkah awal dari
proses akreditasi dan validasi lembaga. Dari uraian diatas dapat disimpulkan
bahwa: Evaluasi program pendidikan tidak lain adalah supervisi pendidikan
dalam pengertian khusus, tertuju pada lembaga secara keseluruhan.
Apa hubungan antara evaluasi program
dengan kebijakan? Program adalah rangkaian kegiatan sebagai realisasi dari
suatu kebijakan. Apabila suatu program tidak dievaluasi maka tidak dapat
diketahui bagaimana dan seberapa tinggi kebijakan yang sudah dikeluarkan dapat terlaksana.
Informasi yang diperoleh dari kegiatan
evaluasi sangat berguna bagi pengambilan keputusan dan kebijakan
lanjutan dari program., karena dari masukan hasil evaluasi program itulah para
pengambilan keputusan akan menentukan tindak lanjut dari program yang sedang
atau telah dilaksanakan. Wujud dari hasil evaluasi adalah sebuah rekomendasi
dari evaluator untuk pengambil keputusan (decision maker). Ada empat kemungkinan kebijakan yang dapat dilakukan
berdasarkan hasil dalam pelaksanaan sebuah program keputusan, yaitu
1. Menghentikan
program, karena dipandang bahwa program tersebut tidak
ada
manfaatnya,atau tidak dapat terlaksana sebagaimana diharapkan.
2. Merevisi program, karena ada bagian-bagian
yang kurang sesuai dengan harapan (terdapat kesalahan tapi hanya sedikit).
3. Melanjutkan program,karena
pelaksanaan program menunjukkan bahwa segala sesuatu sudah sesuai dengan
harapan dan memberikan hasil yang bermanfaat.
4. Menyebar luaskan program(melaksanakan
progran ditempat-tempat lain atu mengulangi lagi program dilain waktu),karena
program tersebut berhasil dengan baik maka sangat baik jika dilaksanakan lagi di
tempat dan waktu yang lain.
D.
EVALUATOR PROGRAM
Siapakah yang melakukan evaluasi
program? Pertanyaan tersebut tidak lain diajukan untuk menyebutkan siapa yang
menjadi evaluator program. Apakah semua orang berhak menjadi evaluator program?
Tentu saja tidak. Untuk dapat menjadi evaluator, seseorang harus memenuhi
persyaratan sebagai berikut.
1. Mampu melaksanakan, persyaratan
pertama yang harus dipenuhi oleh evaluator adalah bahwa mereka harus memiliki
kemampuan untuk melaksanakan evaluasi yang didukung oleh teori dan keterampilan
praktik.
2. Cermat,dapat melihat celah-celah dan
detail dari program serta bagian dari program yang akan dievaluasi.
3. Objektif, tidak mudah dipengaruhi oleh
keinginan pribadi, agar dapat mengumpulkan
data sesuai dengan keaadaannya, selanjutnya dapat mengambil kesimpulan
sebagaimana diatur olek ketentuan yang harus diikuti.
4. Sabar dan tekun, agar didalam
melaksanakan tugas dimulai dari membuat rancangan kegiatan dalam bentuk
menyusun proposal, menyusun instrumen.mengumpulkan data, dan menyusun laporan,tidak
gegabah dan tergesa-gesa.
5. Hati-hati dan bertanggung jawab, yaitu
melakukan pekerjaan evaluasi dengan penuh pertimbangan, namun apabila masih ada
kekeliruan yang diperbuat, berani menanggung resiko atas segala kesalahannya.
Berdasarkan persyaratan diatas dapat
disimpulkan bahwa tidak semua orang dapat menjadi evaluator. Pertanyaan lain
yang dapat diajukan sesudah memenuhi persyaratan adalah apakah yang
bersangkutan diperbolehkan menjadi evaluator? Pertanyaan tersebut sebetulnya
menyangkut pertimbangan dari mana orang yang bersangkutan diambil.
Ada
dua kemungkinan asal (dari mana) orang untuk dapat menjadi evaluator progrm
ditinjau dari program yanga akan dievaluasi.Masing-masing mempunyai kelebihan
dan kekurangan. Menentukan asal evaluator harus mempertimbangkan keterkaitan
orang yang bersangkutan dengan program yang akan dievaluasi. Berdasarkan
pertimbangan tersebut evaluator dapat diklasifikasikan menjadi dua macam, yaitu
(1) evaluator dalam dan (2) evaluator luar.
1. Evaluator Dalam (internal evaluator)
Yang dimaksud dengan evaluator dalam adalah petugas
evaluasi program yang sekaligus merupakan salah seorang dari petugas atau
anggota pelaksana yang dievaluasi. Adapun kelebihan dan kekurangan evaluator
dalam, yaitu
Kelebihan:
1) Evaluator
memenuhi betul program yanga akan dievaluasi sehingga kekhawatiran untuk tidak
atau kurang tepatnya sasaran tidak perlu ada. Dengan kata lain, evaluasi tepat
pada sasaran.
2) Karena
evaluator adalah orang dalam, pengambilan keputusan tidak perlu banyak
mengeluarkan dana untuk membayar petugas evaluasi.
Kekurangan:
1) Adanya
unsur subjektifitas dari evaluator, sehingga berusaha menyampaikan aspek
positif dari program yang dievaluasi dan menginginkan agar kebijakan tersebut
dapat diimplementasikan dengan baik pula. Dengan kata lain, evaluator internal
dapat dikhawatirkan akan bertindak subjektif.
2) Karena
sudah memahami seluk beluk program, jika evaluator yang ditunjuk kurang sabar,
kegiatan evaluasi akan dilaksanakan dengan tergesa-gesa sehingga kurang cermat.
2. Evaluator Luar (External
Evaluator)
Yang dimaksud dengan evaluator luar
adalah orang-orang yang tidak terkait dengan kebijakan dan implementasi
program. Mereka berada diluar dan diminta oleh pengambil keputusan untuk mengevaluasi keberhasilan program atau
keterlaksanaan kebijakan yang sudah diputuskan. Melihat bahwa status mereka
berada diluar program dan dapat bertindak bebas sesuai dengan keinginan mereka
sendiri maka tim evaluator luar ini biasa dikenal dengan nama tim bebas atau
tim independent team.
Kelebihan:
1) Oleh
karena tidak berkepentingan atas keberhasilan program maka evaluator luar dapat
bertindak secara objektif selama melaksanakan evaluasi dan mengambil
kesimpulan. Apapun hasil evaluasi, tidak akan ada respon emosional dari
evaluator karena tidak ada keinginan untuk memperlihatkan bahwa program
tersebut berhasil. Kesimpulan yang dibuat akan lebih sesuai dengan keadaan dan
kenyataan.
2) Seorang
ahli yang dibayar, biasanya akan mempertahankan kredibilitas kemampuannya.
Dengan begitu, evaluator akan bekerja secara serius dan hati-hati.
Kekurangan:
1) Evaluator
luar adalah orang baru, yang sebelumnya tidak mengenal kebijakan tentang
program yang akan dievaluasi. Mereka berusaha mengenal dan mempelajari seluk –
beluk program tersebut setelah mendapat permintaan untuk mengevaluasi. Mungkin
sekali pada waktu mendapat penjelasan atau mempelajari isi kebijakan, ada
hal-hal yang kurang jelas. Hal itu wajar karena evaluator tidak ikut dalam
proses kegiatannya. Dampak dari ketidakjelasan pemahaman tersebut memungkinkan
kesimpulan yang diambil kurang tepat.
2) Pemborosan,
pengambil keputusan harus mengeluarkan dana yang cukup banyak untuk membayar
evaluator bebas.
Melihat kelebihan dan kekurangan dari
masing-masing evaluator, timbul pertanyaan: evaluator manakah yang lebih baik?
Sebaiknya, orang yang ditunjuk sebagai evaluator berasal dari dalam dan luar
program, yaitu gabungan antara orang-orang di dalam program atau unsur kebijakan,
digabung dengan orang –orang dari luar. Dengan demikian, orang dalam dapat
menjelaskan kepada orang luar tentang kebijakan yang tepat, sehingga diperkirakan
tidak akan terjadi manipulasi hasil. Hal ini akan menguntungkan pengambil
keputusan atau pelaksana program.
Perbedaan menonjol antara evaluator luar
dengan evaluator dalam adalah adanya satu langkah penting sebelum mereka mulai
melaksanakan tugas. Oleh karena evaluator luar adalah pihak asing yang tidak
tahu menahu dan tidak berkepentingan dengan program, yang diasumsikan belum
memahami seluk beluk program maka terlebih dahulrang evaluu tim tersebut perlu
mempelajari program yang akan dievaluasi.
Hal –hal yang harus dipelajari oleh seorang evaluator meliputi tujuan peogram,
komponen program, siapa pelaksananay, dan pihak – pihak mana yang terlibat,
kegiatan apa saja yang sudah dilaksanakan, dan gambaran singkat tentang sejauh
mana tujuan program sudah dicapai.
Sesudah tim evaluator betul-betul
memahami program, barulah mereka memulai menyusun rencana atau desain evaluasi.
Dalam proses memantapkan desain dan instrumen (paling tidak kisi-kisi
instrumen) tim evaluator sebaiknya masih terus berhubungan dengan salah seorang
personel atau lebih baik lagi jika dapat melibatkan penanggung jawab program
agar ketika sampai pada saatnya harus mengumpulkan data, evaluator tidak ragu
–ragu lagi dalam melangkah.
E. TUJUAN DAN SASARAN EVALUASI PROGRAM
Pada kajian lalu sudah disimpulkan bahwa program
adalah sebuah kegiatan sebagai implementasi kebijakan. Setiap kegiatan tertentu
mempunyai tujuan, demikian juga dengan evaluasi program. Pada bagian ini, akan
dipaparkan mengenai tujuan program dan tujuan evaluasi program yang juga
disertai beberapa contoh soal.
1.
Kaitan Antara Tujuan Program dengan Tujuan Evaluasi
Program
Secara singkat evaluasi program merupakan upaya untuk
mengukur ketercapaian program, yaitu mengukur sejauh mana sebuah kebijakan
dapat terimplementasikan.
Berikut ini beberapa contoh kegiatan sederhana yang
merupakan program dan bukan program.
a.
Kegiatan membaca
Tujuan kegiatan ini adalah untuk menangkap isi bacaan. Sedangkan tujuan
evaluasi kegiatan adalah untuk mengetahui apakah pembaca dapat menangkap isi
bacaan yang dibaca.
b.
Program seminar
Tujuan program ini adalah untuk membahas sesuatu topic di dalam forum
peserta seminar. Sedangkan tujuan evaluasi program ini adalah untuk mengetahui
(melalui pengumpulan data) apakah topic yang diajukan dalam seminar sempat
dibahas, dan apakah peserta seminar mempunyai kesempatan untuk membahas topic
yang diajukan dalam forum seminar.
c.
Program usaha kesehatan sekolah (UKS)
Tujuan program ini adalah untuk mengatasi masalah kesehatan siswa dan
personil lain di sekolah yang bersangkutan. Sedangkan tujuan evaluasi
programnya adalah untuk mengumpulkan informasi tentang tertanganinya masalah
kesehatan di sekolah, antara lain untuk mengetahui apakah layanan yang
diberikan oleh UKS memuaskan bagi para siswa dan personel sekolah lainnya.
Dari ketiga contoh di atas,
dapat ditentukan mana kegiatan yang merupakan penelitian dan mana penelitian
tetapi juga sekaligus evaluasi program. Evaluasi program dilakukan dengan cara
yang sama dengan penelitian. Jadi, evaluasi program adalah penelitian yang
mempunyai ciri khusus, yaitu melihat keterlaksanaan program sebagai realisasi
kebijakan, utnuk menentukan tindak lanjut dari program tersebut.
Terdapat banyak persamaan
antara penelitian dengan evaluasi. pendekatan, instrument, dan langkah-langkah
yang digunakan pun bisa sama. Keduanya dimulai dari menentukan sasaran
(variable), membuat kisi-kisi, menyusun instrument, mengumpulkan data, analisis
data, dan mengambil kesimpulan. Jika kesimpulan peneliti diikuti dengan saran
maka evaluasi program harus selalu mengarah pada pengambilan keputusan,
sehingga harus diakhiri dengan rekomendasi kepada pengambil keputusan. Untuk
jelasnya perhatikan gambar berikut:
|
|
|
|
|
|
Gambar 3. Perbedaan
langkah akhir dari penelitian dan evaluasi program
Dari
penjelasan tambahan di atas diketahui bahwa evaluasi program diarahkan pada
perolehan rekomendasi sehingga tujuan evaluasi program tidak boleh terlepas
dari tujuan program yang akan di evaluasi. keduanya saling terkait karena
tujuan program itu merupakan dasar untuk merumuskan tujuan evaluasi program.
Secara singkat dapat dibuat sebuah ketentuan bahwa : tujuan evaluasi program
harus dirumuskan dengan titik tolak tujuan program yang dievaluasi.
Ada dua
macam tujuan evaluasi , yaitu tujuan umum dan tujuan khusus. Tujuan umum
diarahkan pada program secara keseluruhan, sedangkan tujuan khusus diarahkan
pada masing-masing komponen. Agar dapat melakukan tugasnya maka seorang
evaluator program dituntut untuk mampu mengenali komponen-komponen program.
Dalam
menentukan tujuan program, evaluator program harus dapat menangkap harapan dari
penentu kebijakan yang mungkin bertindak sebagai pengelola atau mengkin juga
tidak. Untuk mempermudah mengidentifikasikan tujuan evaluasi program, kita
harus memperhatikan unsure-unsur dalam kegiatan atau penggarapannya. Ada tiga
unsur penting dalam kegiatan atau penggarapan suatu kegiatan, yaitu
a.
What = apa yang digarap,
b.
Who = siapa yang menggarap, dan
c.
How = bagaimana menggarapnya.
Dengan memfokuskan perhatian pada tiga unsur kegiatan
tersebut, paling sedikit dapat diidentifikasi adanya 3 (tiga) komponen
kegiatan, yaitu tujuan, pelaksana kegiatan, dan prosedur/teknik pelaksanaan.
2.
Sasaran Evaluasi Program
Untuk menentukan sasaran evalusi,
evaluator perlu mengenali program dengan baik, terutama komponen-komponennya.
Karena yang menjadi sasaran evaluasi bukan program secara keseluruhan tetapi komponen atau bagian program.
Mengapa
sasaran evaluasi tertuju pada komponen? Seperti alasan mengapa tujuan umum
harus dijabarkan menjadi tujuan khusus maka sasaran evaluator diarahkan pada
komponen agar pengamatannya dapat lebih cermat dan data yang dikumpulkan lebih
lengkap. Untuk itulah maka evaluator harus memiliki kemampuan
mengidentifikasikan komponen program yang akan di evaluasi.
F. KRITERIA EVALUASI PROGRAM
1. Pengertian Kriteria
Istilah “kriteria” dalam penilaian sering juga dikenal
dengan kata “tolok ukur” atau “standar”. Dari nama-nama yang digunakan tersebut
dapat segera dipahami bahwa kriteria, tolok ukur, atau standar, adalah sesuatu
yang digunakan sebagai patokan atau batas minimal untuk sesuatu yang diukur.
Kriteria atau standar dapat disamakan dengan “takaran”. Jika untuk mengetahui
berat beras digunakan timbangan, panjangnya benda digunakan meteran maka
kriteria atau tolok ukur digunakan untuk menakar kondisi objek yang dinilai.
Tentang batas yang ditunjuk oleh kriteria, sebagian
orang mengatakan bahwa tolok ukur adalah “batas atas”, artinya batas maksimal
yang harus dicapai. Sementara sebagian orang yang lainnya mengatakan bahwa
tolok ukur atau kriteria adalah “batas bawah”, yaitu batas minimal yang harus
dicapai. Dapat disimpulkan bahwa kriteria atau tolok ukur itu bersifat jamak
karena menunjukkan batas atas dan batas bawah, sekaligus batas-batas di
antaranya. Dengan demikian kriteria menunjukkan gradasi atau tingkatan, dan ditunjukkan
dalam bentuk kata keadaan atau predikat.
Permasalahan di dalam kriteria evaluasi program adalah
aturan tentang bagaimana menentukan peringkat-peringkat kondisi sesuatu atau
rentangan-rentangan nilai, agar data yang diperoleh dapat dipahami orang lain
dan bermakna bagi pengambil keputusan dalam rangka menentukan kebijakan lebih
lanjut. Jika evaluator tidak berniat membuat kriteria khusus, sebaiknya
menggunakan kriteria yang sudah lazim digunakan dan dikenal oleh umum misalnya
skala 1 – 10 atau skala 1 – 100.
2. Mengapa Perlu Ada Kriteria?
Kriteria atau tolok ukur perlu dibuat oleh evaluator
karena evaluator terdiri dari beberapa orang yang memerlukan kesepakatan di
dalam menilai. Selain alasan sederhana tersebut, ada beberapa alasan lain yang
lebih luas dan dapat dipertanggungjawabkan, yaitu
a.
Dengan adanya kriteria atau tolok ukur, evaluator akan
lebih mantap dalam melakukan penilaian terhadap objek yang akan dinilai karena
ada patokan yang diikuti.
b.
Kriteria atau tolok ukur yang sudah dibuat dapat digunakan
untuk menjawab atau mempertanggungjawabkan hasil penilaian yang sudah
dilakukan, jika ada orang yang ingin menelusuri lebih jauh atau ingin mengkaji
ulang.
c.
Kriteria atau tolok ukur digunakan untuk mengekang
masuknya unsur subjektif yang ada pada diri penilai. Dengan adanya criteria
maka dalam melakukan evaluasi, evaluator dituntun oleh kriteria, mengikuti
butir demi butir, tidak mendasarkan diri
atas pendapat sendiri (yang mungkin sekali”dikotori” oleh seleranya).
d.
Dengan adanya
kriteria atau tolok ukur maka hasil evaluasi akan sama meskipun dilakukan dalam
waktu yang berbeda dan dalam kondisi fisik penilai yang berbeda pula. Misalnya
penilai sedang dalam kondisi badan yang masih segar atau dalam keadaan lelah
hasilnya akan sama.
e.
Kriteria atau tolok ukur memberikan arahan kepada
evaluator apabila banyaknya evaluator lebih dari satu orang. Kriteria atau
tolok ukur yang baik akan ditafsirkan sama oleh siapa saja yang menggunakannya.
3. Apa Dasar Pembuatan Kriteria?
Yang dimaksud dengan istilah “dasar” dalam pembuatan
standar atau kriteria adalah sumber pengambilan kriteria secara keseluruhan.
Mengingat banyaknya objek yang diukur dengan harapan serta kondisi yang
berbeda-beda maka ada beberapa sumber pembuatan kriteria
a.
Sumber Pertama
Apabila yang dievaluasi merupakan suatu implementasi
kebijakan maka yang dijadikan sebagai kriteria atau tolok ukur adalah peraturan
atau ketentuan yang sudah dikeluarkan berkenaan dengan kebijakan yang
bersangkutan. Apabila penentu kebijakan tidak mengeluarkan ketentuan secara
khusus maka penyusun kriteria menggunakan ketentuan yang pernah berlaku umum
yang sudah dikeluarkan oleh pengambil kebijakan terdahulu dan belum pernah
dicabut masa berlakunya.
b.
Sumber Kedua
Dalam mengeluarkan kebijakan biasanya disertai dengan
buku pedoman atau petunjuk pelaksanaan (juklak). Di dalam juklak tertuang
informasi yang lengkap, antara lain dasar pertimbangan dikeluarkannya
kebijakan, prinsip, tujuan, sasaran dan rambu-rambu pelaksanaannya. Butir-butir
yang teartera di dalamnya, terutama dalam tujuan kebijjakan, mencerminkan
harapan dari kebijakan. Oleh Karena itu, pedoman atau petunjuk pelaksanaan
itulah yang distatuskan sebagai sumber criteria.
c.
Sumber Ketiga
Apabila tidak ada ketentuan atau petunjuk pelaksanaan
yang dapat digunakan oleh penyusun sebagai sumber kriteria maka penyusun
menggunakan konsep atau teori –teori ysng terdapat dalam buku-buku ilmiah.
d.
Sumber Keempat
Jika tidak ada ketentuan, peraturan atau petunjuk
pelaksanaan, dan juga ttidak ada teori yang diacu, penyusun disarankan untuk
menggunakan hasil penelitian. Dalam hal ini sebaiknya tidak langsung mengacu
pada hasil penelitian yang baru saja diselesaikan oleh peneliti (apabila
peneliti pemula), tetapi disarankan sekurang-kurangnya hasil penelitian yang
sudah dipublikasikan atau diseminarkan. Jika ada, yang sudah disajikan kepada
orang banyak, yaitu disimpan di perpustakaan umum.
e.
Sumber Kelima
Apabila penulis tidak menemukan acuan yang tertulis
dan mantap, dapat meminta bantuan pertimbangan kepada orang yang dipandang
memiliki kelebihan dalam bidang yang sedang dievaluasi sehingga terjadi langkah
yang dikenal dengan expert judgment.
f.
Sumber Keenam
Apabila sumber acuan tidak ada, sedangkan ahli yang
dapat diandalkan sebagai orang yang elbih memahami masalah dibanding penyusun
juga sukar dicari atau dihubungi maka penyusun dapat menentukan kriteria secara
bersama dengan anggota tim atau beberapa orang yang mempunyai wawasan tentang
program yang akan dievaluasi. Perbedaan cara ini dengan expert judgment adalah
bahwa seorang expert tentunya memiliki kelebihan yang menonjol, sedangkan
kelompok yang diundang dalam diskusi ini tidak harus yang sangat mempunyai
kemampuan lebih. Kriteria atau tolok ukur yang tersusun dari diskusi ini
merupakan hasil kesepakatan kelompok.
g.
Sumber Ketujuh
Dalam keadaan yang sangat terpaksa karena acuan tidak
ada, ahli juga tidak ada, sedangkan untuk menyelenggarakan diskusi terlalu
sulit maka jalan terakhir adalah melakukan pemikiran sendiri. Dalam
keterpaksaan seperti ini penyusun kriteria atau tolok ukur hanya mengandalkan
akal atau nalar penyusun sendiri sebagai dasar untuk menyusun kriteria yang
akan digunakan dalam mengevaluasi program. Jika ternyata sesudah digunakan
dalam mengevaluasi masih menjumpai kesulitan, penyusun harus meninjau kembali
dan wajib memperbaiki berkali-kali sampai mencapai rumusan yang sesuai dengan
kondisi yang diinginkan.
4.
Cara
Menyusun Kriteria
Secara garis
besar ada dua macam kriteria, yaitu kriteria kuantitatif dan criteria kualitatif.
a.
Kriteria Kuantitatif
Kriteria kuantitatif sendiri dapat dibedakan menjadi
dua, yaitu (1) kriteria tanpa perkembangan dan (2) kriteria dengan
pertimbangan.
1) Kriteria kuantitatif tanpa pertimbangan
Kriteria yang disusun hanya dengan memperhatikan
rentangan bilangan tanpa mempertimbangkan apa- apa dilakukan dengan membagi
rentangan bilangan.
Contoh :
Kondisi maksimal yang diharapkan untuk prestasi
belajar diperhitungkan 100%. Jika penyusun menggunakan lima kategori nilai maka
antara 1 % dengan 100% dibagi rata sehingga menghasilkan kategori sebagai
berikut;
·
Nilai 5 (Baik Sekali), jika mencapai 81 – 100%
·
Nilai 4 (Baik), jika mencapai 61 – 80 %
·
Nilai 3 (Cukup), jika mencapai 41 – 60%
·
Nilai 2 (Kurang), jika mencapai 21 – 40%
·
Nilai 1 (Kurang Sekali), jika mencapai < 21%
Istilah untuk sebutan yang menunjukkan kualitas bukan
hanya dari Baik Sekali sampai dengan Kurang Sekali, tetapi bisa Tinggi Sekali,
Tinggi, cukup, Rendah, dan Rendah Sekali, atau mungkin sering Sekali, Sering,
sampai dengan Jarang Sekali. Selain itu, dapat juga menggunakan istilah-istilah
lain yang menunnjukka kualitas suatu keadaan, sifat, atau kondisi, seperti
Banyak Sekali, Sibuk Sekali, dan lain-lainnya. Untuk pertimbangan atau pendapat
orang, penyusun dapat menggunakan kata setuju, sependapat, dan lainnya.
2) Kriteria kuantitatif dengan pertimbangan
Ada kalanya beberapa hal kurang tepat jika kriteria
kuantitatif dikategorikan dengan membagi begitu saja rentangan yang ada menjadi
rentangan sama rata. Sebagai contoh ada nilai di beberapa prguruan tinggi untuk
menentukan nilai dengan huruf A, B, C,
D, dan E. Bagaimana menentukan nilai
untuk masing-masing huruf mengacu pada peraturan akademik berdasarkan besarnya
persentase pencapaian tujuan belajar sebagai berikut.
·
Nilai A : rentangan 80 – 100%
· Nilai B :
rentangan 66 – 79%
·
Nilai C : rentangan 56 – 65%
·
Nilai D : rentangan 40 – 55%
·
Nilai E : kurang dari 40 %
Melihat pengkategorian nilai – nilai tersebut dapat
disimpulkan bahwa rentangan di dalam setiap kategori tidak sama, demikian juga
jarak antara kategori yang satu dengan yang lainnya. Hal ini dibuat Karena
adanya pertimbangan tertentu berdasarkan sudut pandang dan pertimbangan
evaluator.
b.
Kriteria Kualitatif
Yang dimaksud dengan kriteria kualitatif adalah riteria
yang dibuat tidak menggunakan angka-angka. Hal–hal yang dipertimbangkan dalam
menentukan kriteria kualitatif adalah indikator yang dikenai kriteria adalah
komponen. Seperti halnya kriteria kuantitatif, jenis kriteria kualitatif juga
dibedakan menjadi dua, yaitu (a) kriteria kualitatif tanpa pertimbangan, dan
(b) kriteria kualitatif dengan pertimbangan. Adapun penjelasannya adalah
sebagai berikut.
1)
Kriteria
kualitatif tanpa pertimbangan
Dalam menyusun kriteria kualitatif tanpa pertimbangan,
penyusun kriteria tinggal menghitung banyaknya indikator dalam komponen yang
dapat memenuhi persyaratan. Dari penjelasan tentang hubungan antara
indikator, komponen, dan program tersebut dapat disimpulkan bahwa (1) Komponen
adalah unsur pembentuk kriteria program. (2) indikator adalah unsur pembentuk
kriteria komponen.
2)
Kriteria
kualitatif dengan pertimbangan
Dalam menyusun kriteria, terlebih dahulu tim evaluator
perlu merundingkan jenis kriteria mana yang akan digunakan, yaitu memilih
kriteria tanpa pertimbangan atau dengan pertimbangan. Jika yang dipilih adalah
kriteria dengan pertimbangan maka tentukan indikator mana yang harus
diprioritaskan atau dianggap lebih penting dari yang lain.Kriteria kualitatif
dengan pertimbangan disusun melalui dua cara, yaitu (1) dengan mengurutkan
indikator dan (2) dengan menggunakan pembobotan.
a.
Kriteria kualitatif dengan pertimbangan mengurutkan
indikator
Jika penyusun memilih kriteria kualitatif dengan
pertimbangan mengurutkan indikator dengan urutan prioritas maka dihasilkan
kriteria kualitatif dengan pertimbangan sebagai berikut.
·
Nilai 5, jika memenuhi semua indikator.
·
Nilai 4, jika memenuhi (b), (c), dan (d) atau (a).
·
Nilai 3, jika memenuhi salah satu dari (b) atau (c)
saja, dan salah satu dari (d) atau (a)
·
Nilai 2, jika memenuhi salah satu dari empat
indikator.
·
Nilai 1, jika tidak ada satu pun indikator yang
memenuhi.
Jika yang dikenai kriteria itu bukan indikator tetapi
subindikator (bagian dari indikator) maka yang digunakan untuk mempertimbangkan
penentuan kriteria adalah subindikator atau rincian dari indikator tersebut.
Jika evaluator memandang penting mencermati indikator secara lebih rinci maka
kriteria yang akan digunakan ditentukan atas dasar subindikator yang sudah
diidentifikasi terlebih dahulu tersebut.
Perlu diketahui oleh para evaluator bahwa mengadakan
identifikasi indikator dan subindikator seperti yang dicontohkan memang bukan
pekerjaan yang mudah. Untuk dapat bertambah jeli mendapatkan indicator dari
sebuah komponen dan mendapatkan subindikator dari masing-masing indicator,
diperlukan latihan dan pembiasaan. Selain itu, perlu juga diketahui bahwa adakalanya
sebuah indikator tidak dapat dipecahkan lagi menjadi lebih kecil, yaitu
subindikator. Dalam keadaan seperti itu, indikator hanya merupakan satu-satunya
dasar pembuatan kriteria atau tolok ukur.
a) Kriteria
kualitatif dengan pertimbangan pembobotan
Selain mempertimbangkan indikator sebagai unsur untuk
menentukan gradasi nilai dalam kriteria, ada juga cara lain yang dapat
digunakan oleh evaluator dalam menentukan nilai, yaitu pembobotan.
Jika dalam menentukan kriteria dengan perimbangan indikator, nilai dari tiap-tiap indikator tidak sama, kemudian letak, kedudukan, dan
pemenuhan persyaratannya dibedakan dengan menentukan urutan , dalam pertimbangan pembobotan indikator-indikator yang ada diberi nilai dengan bobot yang
berbeda. Penentuan peranan sub indikator dalam mendukung nilai indikator harus disertai dengan alasan-alasan yang tepat.
Kalau sudah ditentukan pembobotannya, kini para
penilai tinggal memilih akan menggunakan skala berapa dalam menilai objek.
Mungkin skala 1 – 3, 1 – 4, atau 1 – 5, atau bahkan seperti
yang lazim digunakan di sekolah, yaitu skala 1 – 10 , terserah saja. Yang penting adalah proses pada waktu
menentukan nilai akhir indikator.
Cara memperoleh nilai akhir indikator adalah
1)
Mengalikan nilai masing-masing subindikator dengan
bobotnya
2)
Membagi jumlah nilai subindikator dengan jumlah bobot.
Adapun rumus nilai akhir indikator adalah sebagai
berikut.
Nilai indikator =
Jumlah bobot subindikator x nilai subindikator
Jumlah bobot
Jika bobot
subindikator disingkat BSI, nilai indicator disingkat NI, nilai subindikator
disingkat NSI, dan jumlah bobot disingkat JB maka rumus nilai akhir indikator dalam singkatan adalah sebagai berikut.
NI = BSI x NSI
JB
Penggunaan kriteria dengan pertimbangan unsur dan
pembobotan ini banyak digunakan dalam dunia pendidikan. Ketika guru menentukan
nilai akhir mata pelajaran, biasanya memberikan bobot nilai ujian lebih besar
dibandingkan denghan nilai ulangan harian . sebagai kelengkapan pertimbangan,
nilai tugas juga diperhitungkan dalam menambah unsur penunjang, tetapi bobot
yang diberikan lebih kecil dari ulangan dan ujian. Adakalanya dosen juga
memperhitungkan kehadiran sebagai salah satu unsur yang dipertimbangkan.
Alasannya, jika seorang mahasiswa hadir kuliah, meskipun minim, tentu
memperoleh ilmu yang tersimpan di otaknya. Perolehan itu tentu lebih besar
dibandingkan nol besar yang diperoleh mahasiswa yang tidak hadir. Dengan
masuknya unsur kehadiran dalam penentuan nilai akhir ini, hasil penilaian
menjadi lebih cermat sehingga lebih baik.
Sesudah
kita memahami cara menentukan nilai indikator dengan dasar hasil penilaian subindikator,
selanjutnya adalah menentukan nilai komponen dengan dasar nilai indikator, dan
nilai program dengan dasar nilai komponen. Kalau dalam menghitung nilai akhir
indikator kita menggunakan rumus
berdasarkan subindikator maka dalam menghitung nilai komponen menggunakan
indicator sebagai unsur.
Adapun
rumus nilai akhir komponen adalah sebagai berikut.
Nilai komponen =
Jumlah bobot indikator x Nilai
indikator
Jumlah bobot
Jika nilai komponen disingkat NK, bobot indikator
disingkat BI, nilai indikator disingkat NI, dan jumlah bobot disingkat JB maka
rumus dalam singkatan adalah sebagai berikut.
NK = (BI x
NI)
JB
Bertitik
tolak pada pengertian tersebut maka dapat disimpulkan bahwa
1.
Tinggi rendahnya kualitas suatu program sangat
tergantung dari tinggi rendahnya kualitas komponen.
2.
Tinggi rendahnya kualitas komponen tergantung dari
tinggi rendahnya kualitas indikator
3.
Tinggi rendahnya kualitas indikator tergantung dari
tinggi rendahnya kualitas subindikator.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar