Jumat, 27 April 2012

PEMBELAJARAN WEB

 
C. Teori Komunikasi
Dalam perspektif, teori komunikasi merupakan landasan lainnya dalam DPBW. Richey (dalam  Romussen 1986) menyatakan bahwa teori komunikasi menjelaskan proses penyampaian informasi, bentuk dan struktur informasi serta fungsi dan pengaruh informasi.
Komunikasi berpengaruh terhadap bagaimana pesan diciptakan dan distribusikan dari instruktur, antar peserta didik dan pengaruhnya terhadap dirinya sendiri. Pada dasarnya  model komunikasi diawali dari seorang sender menciptakan pesan dan mengirimkannya kepada receiver melalui sistem penyampaian pesan. Setelah pesan diterima, receiver memproses dan lalu menginterpretasikan kemudian memberikan umpan balik kepada sender.
Prinsip-prinsip utama dari teori komunikasi yang digunakan dalam desain PBW (Pembelajaran Berbasis Web) dihubungkan dengan desain pesan yang dinyatakan bahwa: Desain pesan merupakan salah satu langkah proses pengembangan yang membawa spesifikasi cetak biru desain pembelajaran dalam detail yang lebih besar. Seperti cetak biru untuk sebuah rumah yang tidak memili spesifikasi sentuhan akhir tentang warna, penempatan furnitur. Pembelajaran  selalu memberikan spesifikasi bentuk pesan yang harus diambil ( Grabowski: 1995).
Desain pesan fitur-fitur visual teks dan grafik serta penempatannya dalam satu halaman. Dalam suatu lingkungan PBW, desain pesan yang cocok tergantung pada desainer yang tampak dalam bentuk tata letak Web . Ide-ide pada rancangan pesan membantu desainer menyediakan dialog dan perubahan informasi yang efektif.
Teori sistem adalah salah satu bidang studi yang memainkan peran penting dalam perkembangan teori komunikasi. Bertalanffy, Wiener dan lain-lain telah mengembangkan teori sistem dan sibernetika, melalui studi tentang komunikasi manusia yang fokus pada linguistik.
Munculnya teori sistem yang baru ini membuat para ahli komunikasi  perlu mempertimbangkan kembali sistem komunikasi dalam pendekatan yang baru pula yaitu sebuah sistem yang mengintegrasikan berbagai elemen. Keberartian komunikasi manusia tidak lagi diperlakukan sebagai sesuatu yang terpisah dan berbeda dari proses komunikasi lainnya. Bertalanffy (1968) menyatakan bahwa teori sistem komunikasi manusia diperlakukan sama dengan semua komunikasi lainnya baik itu sistem teknik (seperti telepon sistem), fenomena komunikasi fisik  seperti cahaya atau proses Transfer energi, sistem biologis hidup, atau seluruh sistem sosial.
Kemajuan iptek memungkinkan terjadinya proses integrasi dari berbagai elemen termasuk kaitan terpenting dari komunikasi yaitu informasi. Bertalanffy berpendapat bahwa komunikasi akan selalu terkait dengan arus infoemasi dalam suatu  sistem. Dia menyarankan dalam banyak kasus, arus informasi berkaitan juga dengan aliran energi (Bertalanffy: 1968).
Pendapat yang sama dengan Bertalanffy,juga dinyatakan Wiener (1948) bahwa prinsip-prinsip dasar komunikasi, adalah sama tanpa memperhatikan apakah orang berurusan dengan sistem mesin, manusia, atau makhluk hidup lainnya. Weiner lebih lanjut menambahkan bahwa komunikasi adalah salah satu prinsip di mana alat dikombinasikan dengan sistem lingkungan eksternal.
Pada tahun 1949, Shannon dan Weaver, diilhami oleh perkembangan teori sistem  dan komunikasi baru sibernetika, memperkenalkan model yang mereka sebut “  informasi”. Komunikasi merupakan hasil dari beroperasinya elemen-elemen dalam sebuah sistem informasi yaitu sumber pesan yang diteruskan oleh saluran, ke penerima.
Saluran inilah yang banyak mempengaruhi sistem informasi. Saluran ini diistilahkan  dengan Bandwidth. Kapasitas Bandwidth mempengaruhi tingkat informasi yang dapat disampaikan dan inilah yang sering disebut dengan ukuran kapasitas komunikasi. Misalnya dalam istilah modern, kalau seorang terhubung ke internet melalui Modem, besarnya ukuran Bandwidth yang tersedia akan mempengaruhi seberapa cepat dia dapat mendownload data.
Saluran Bandwidth juga mungkin dibatasi oleh bentuk komunikasi. Sebagai contoh, ketika berbicara pada telepon, saluran terbatas hanya data audio, informasi visual   dikomunikasikan. Wiener (1948) menunjukkan bahwa efektifitas komunikasi dalam model seperti itu bergantung pada saluran. Saluran berkualitas tinggi mengirimkan informasi  secara bermutu, sedangkan saluran kualitas rendah mungkin terkontaminasi oleh informasi lain, atau apa yang Weiner sebut sebagai kebisingan latar belakang.

D. Model Desain Instruksional
Model desain instruksional adalah aturan desain yang umumnya berisikan tentang cara mengajar atau mengarahkan peserta didik untuk belajar sesuai dengan kebutuhan, subjek dan konteks pada kelas tertentu. Desain instruksional adalah suatu pendekatan sistematik untuk memastikan bahwa tujuan-tujuan pembelajaran khusus dapat dicapai. Ini adalah proses yang berulang-ulang secara terus-menerus yang memerlukan evaluasi dan umpan balik.
Banyak teori dan model desain instruksional memberikan petunjuk bagi terlaksananya pembelajaran. Namun, tidak seluruhnya dapat diterima melalui suatu validasi secara empiris terhadap desain yang sebenarnya telah diuji dalam suatu lingkungan kelas untuk mendukung logika model yang diusulkan. Akan tetapi kurangnya validasi bukanlah suatu kelemahan, karena proses belajar tidak dapat diprediksi dan tunduk pada sejumlah variabel lain yang telah dianggap mempengaruhi hasil belajar peserta didik.
Tujuan utama dari desain instruksional yang efektif adalah untuk membangun pengalaman belajar bagi peserta didik. Kemp menyarankan perancang instruksional, guru dan mereka yang menjadi praktisi pembelajaran harus paham bahwa tujuan dari suatu sistem desain instruksional adalah untuk mencapai hasil belajar diperlukan dalam kurikulum. Desain sistem instruksional berkaitan dengan sistem, organisasi dari banyak bagian atau elemen-elemen yang kompleks, untuk mencapai tujuan inti yaitu hasil pembelajaran.
Kebanyakan model desain instruksional didasarkan pada landasan behavioris di mana fokusnya adalah pada hal-hal seperti tujuan belajar dan persyaratan instrumental melalui penguatan perilaku yang diinginkan.Model ini lebih mengarah pada dekomposisi dari setiap komponen sistem instruksional ke bagian-bagian komponen yang sudah umum seperti peserta didik, tujuan, isi, dan strategi pembelajaran. Sistem pembelajaran model desain yang mendukung pandangan ini, didasarkan pada sebuah proses yang berurutan diawali dengan defenisi tujuan dan diakhiri dengan pengembangan komponen pembelajaran untuk mencapai setiap tujuan.
Model yang lebih progresif mengarah pada landasan pendekatan konstruktivist, yang menyatakan bahwa belajar itu yang terbaik adalah berdasarkan pengalaman dan pengetahuan individu yang relevan. Model ini cenderung lebih cair dan tidak dibatasi pada proses yang berurutan dalam sebuah desain. Selain itu juga cenderung untuk menggabungkan kegiatan belajar lebih bersifat kolaboratif dan mengurangi peran guru.
Meskipun demikian perkembangan model desain instruksional, memiliki beberapa bentuk yang sama terutama elemen-elemen yang umumnya ada dalam sebuah model desain. Unsur-unsur yang dianggap ada untuk kedua pendekatan model adalah mendefenisikan tujuan, menentukan isi, menentukan strategi dan metode pembelajaran untuk menyajikan materi, dan mengembangkan kurikulum. Kebanyakan model selalu memasukkan unsur sama dalam elemennya termasuk evaluasi dan umpan balik pada tahap tertentu dalam proses. Peredaan utama dalam berbagai model desain hanya terletak pada metode atau pendekatan untuk merancang.
Ada beberapa hal penting yang perlu diperhatikan bahwa kebanyakan model yang disajikan dalam literatur adalah linear. Akan tetapi banyak perdebatan muncul mengenai linearitas model tersebut. Proses belajar tidak dapat diramalkan, oleh karena itu sejatinya model pembelajaran juga hampir tidak pernah mengikuti proses yang linear dengan pencapaian kemajuan berurutan. Berdasarkan pertimbangan tersebut sebaiknya setiap pendekatan yang digunakan harusnya  fleksibel, harus mencerminkan realitas lingkungan belajar, dan harus memperhatikan proses praktis desain instruksional (yaitu, harus sesuai dengan lingkungan kelas dan bukan model hipotesis untuk pengujian tujuan).
Proses intensif desain instruksional dalam waktu yang serba cepat tidak selalu memungkinkan Anda untuk mengikuti langkah demi langkah proses yang sistematis. Banyak urutan langkah terjadi secara bersamaan atau dalam beberapa kasus, tidak sama sekali. Walaupun model dapat membantu dalam memfokuskan usaha untuk desain Anda, seharusnya tidak menghindari situasi pembelajaran. Sebaliknya, mengadaptasi model sesuai dengan kebutuhan Anda, mulai dengan model yang memungkinkan Anda untuk mengembangkan program studi dalam waktu dan anggaran yang tersedia. Pembelajaran yang sukses tidak hanya dilandaskan pada kemudahan merancang model desain instruksional, tapi didasarkan sejauh mana peserta didik memperoleh keterampilan dan mampu men Transfer mereka ke tempat kerja yang lebih baik.
Model desain instruksional (MDI) merupakan bagian yang tak terpisahkan dari desain pembelajaran berbasis Web. MDI dijadikan sebagai landasan dalam merancang DPBW (desain pembelajaran berbasis Web)   konten, strategi penyampaian dan bentuk evaluasi berpola pada MDI. Model pembelajaran dalam DPBW menggunakan pola yang sama dengan model-model pembelajaran lainnya. Hanya saja dalam DPBW ada penekanan terhadap konsep yang mengarah pada pembelajaran jarak jauh.
Menggunakan model desain instruksional adalah suatu keharusan karena landasan DPBW secara hakikatnya tidak berbeda dengan konsep pembelajaran lainnya. Ada dua model pembelajaran yaitu model tradisional dan model alternatif.


1.    Model Tradisional
Andrew and Goodson (1980) telah melakukan analisis terhadap model-model dasar DI (desain instruksional), hanya sedikit yang menggunakannya dalam program DI. Sebagian besar model DI mengikuti ADDIE model (Analysis, Design, Development, Implementation and Evaluation).
“Model DI umumnya memiliki elemen-elemen ini termasuk menentukan kebutuhan peserta didik, mengidentifikasikan dan tujuan pembelajaran, mengembangkan alat asesmen, merancang strategi dan media pembelajaran, dan melaksanakan tes lapangan (evaluasi formatif)” Andrew and Goodson (1980).
Model ADDIE adalah model desain instruksional sistematis yang terdiri dari 5 fase: (1) Analisis, (2) Desain, (3) Pengembangan, (4) Pelaksanaan, dan (5) Evaluasi, sebenarnya tidak diketahui secara pasti penggagas pertama. Akan tetapi Dick dan Carey melakukan perbaikan dan mengembangkan model tersebut.
Lima langkah desain yang menggunakan model ADDIE adalah sebagai berikut:
a.    Analisis
Selama proses analisis, perancang pembelajaran mengidentifikasi masalah, tujuan, dan sasaran, kebutuhan peserta didik, pengetahuan, dan karakteristik lain yang relevan. Analisis juga mempertimbangkan lingkungan belajar, setiap kendala, pilihan penyampaian pesan, dan waktu yang tersedia.
b.   Desain
Sebuah proses sistematis yang menetapkan tujuan belajar. Menjelaskan skenario pembelajaran, prototipe, capaian hasil belajar, desain grafis, dan konten.
c.    Pengembangan
Tahap ini sebenarnya pengembangan isi dan materi pembelajaran berdasarkan tahap yang telah dilaksanakan sebelumnya (desain).
d.   Pelaksanaan
Selama pelaksanaan, rencana dimasukkan kedalam tindakan dan prosedur pembelajaran bagi para peserta didik dan guru yang telah dikembangkan. Bahan itu dikirim atau dibagikan kepada kelompok peserta didik. Setelah dilaksanakan, efektifitas materi pembelajaran dievaluasi.
e.    Evaluasi
Fase ini terdiri dari evaluasi (1) formatif dan (2) sumatif. Evaluasi formatif hadir dalam setiap tahapan proses Addie. Evaluasi sumatif terdiri dari tes yang dirancang untuk mendapatkan informasi yang cukup tentang hasil evaluasi, revisi dibuat sesuai dengan kebutuhan.

Desain instruksional model tradisional memang banyak mendapatkan kritik dan diragukan keberhasilannya. Ada beberapa alasan mengapa model tradisional diperkirakan tidak akan berhasil. Mungkin karena desainnya tidak lengkap, atau karena mereka tidak memperhitungkan karakteristik pengetahuan. Desain instruksional model tradisonal memiliki kualitas linear yang dalam banyak kasus sebenarnya bukan cerminan dari proses desain. Bahkan ada yang berpendapat secara spesifik bahwa model desain instruksional dengan fitur berhirarkhi dan berurutan tidak cukup mewakili apa yang dilakukan banyak orang dalam pembelajaran.

2.    Model Alternatif
Selain model tradisional yang dipaparkan di atas, ada model lain yaitu alternative models. Teori Elaborasi merupakan suatu  larndasan dari model yang terkait dengan pengembangan pembelajaran  pada level makro (Reigeluth, 1987, 1999). Desain level makro terkait dengan program-program pendidikan dan pelatihan atau kurikulum dari rancangan khursus atau pelajaran. Desain level makro (DLM) merupakan suatu landasan penting untuk DPBW yang direncanakan. DLM ini juga mendapat perhatian untuk dipertimbangkan sebagai landasan DPBW.
Model DPBW mencakup langkah-langkah dasar dari analisis, desain dan pengembangan, implementasi dan evaluasi yang umum terjadi dalam DI model tradisional, tetapi diaplikasikan dalam cara yang berbeda. Pendekatan model DPBW dirancang sebagai  proses iteratif yang mengikuti PBW mengembangkan seluruh langkah desain.
Proses ini diawali dengan konseptualisasi proyek PBW diakhiri dengan tes sumatif. Setelah diimplementasikan secara penuh, desain yang disetujui, dikembangkan dan evaluasi melalui tes formatif.
Rasmussen & Shivers (2003) menyatakan bahwa model DPBW dimulai dengan tahapan analisis bergerak ke perencanaan evaluasi. Perencanaan awal evaluasi formatif dan sumatif terjadi bersamaan. Desain yang disetujui, pengembangan dan melaksanakan tes formatif mengikuti tahapan perencanaan evaluasi. Dalam sistem ini, evaluasi menjadi bagian integral dari DPBW. Evaluasi sumatif dilaksanakan setelah implementasi secara penuh dilaksanakan.

Menentukan waktu untuk evaluasi sumatif tergantung pada siklus dalam penerapan PBW.
a.    Analysis Stage
Tahap analisis merupakan langkah awal dalam DPWB yang berisikan 2 phase yaitu : analisis masalah dan analisis komponen pembelajaran. Dokumentasi dari proses DPBW dimulai dalam tahapan ini. Dokumentasi dari proses DPBW dimulai dalam tahapan ini. Penulisan dokumen ini merupakan bagian dari laporan yang lebih besar,umumnya diketahui sebagai Design Document (DD). Perancang menggunakan DD untuk menguraikan prosedur yang digunakan, keputusan yang dibuat, dan laporan yang dihasilkan. Termasuk rasionalitas dan justifikasi dalam DD kenapa keputusan itu dibuat dan siapa yang melakukannya.
1)   Problem Analysis
Tujuan dari phase ini adalah untuk menginvestigasi permasalahan yang muncul dan mengidentifikasi solusi yang dianggap paling tepat. Ada beberapa langkah yang terkait dalam kajian ini yaitu adanya jurang antara unjuk kerja yang diinginkan dengan kenyataan yang terjadi. Perbedaan itu  terjadi karena kurangnya keterampilan, pengetahuan dan motivasi dalam membuat DPWB.
Horton (2000) menyatakan bahwa jika pembelajaran dianggap sebagai solusi yang paling tepat maka desainer juga harus menentukan system penyampaian pesan yang paling tepat. Salah satu factor berpengaruh yang perlu dipertimbangkan untuk menentukan kelayakan PBW adalah alat evaluasi dan dukungan yang tersedia di institusi di mana PBW akan dilaksanakan. PWB diciptakan dan dikembangkan dengan merancang halaman web. Menyediakan dan menggunakan alat serta system manajemen yang memiliki fasilitas khusus untuk merancang pembelajaran  secara online. Desainer harus memiliki akses terhadap semua komponen pendukung baik perangkat keras maupun perangkat lunak.
2)   Instructional Component Analysis
Phase kedua dari analysis yang diperlukan desainer  untuk menganalisis empat komponen dari situasi pembelajaran. Empat komponen itu adalah (1) goals, (2) context, (3) learners, dan (4) instructional content. (Davidson, 1990; Davidson-shiver 1998). Pertanyaan berikut dapat digunakan sebagai kerangka analisis ini.
Ø  Apa tujuan PBW ?
Ø  Apa konteks PBW ?
Ø  Siapa peserta didiknya ?
Ø  Apa konten  pembelajarannya?

3)   Instructional Goal Analysis
Phase kedua dimulai dengan mengidentifikasikan tujuan pembelajaran. Pernyataan umum yang menyatakan apa yang didapatkan peserta didik setelah tujuan pembelajaran PBW lengkap. Level hasil belajar yang akan dicapai dinyatakan dalam phase ini. Dalam DPBW, pernyataan tentang kejelasan tujuan pembelajaran dalam bentuk level capaian yang diharapkan sangat penting, sebab system evaluasi dan criteria penilaian harus dapat dipahami peserta didik. Peserta didik dapat melihat langsung secara nyata apa tujuan yang ingin dicapai dalam setiap level pembelajaran.
4)   Instructional Context Analysis
ICA (Instructional Context Analysis) merupakan analisis situasi lingkungan yang terjadi pada waktu yang akan datang dalam model DPWB. Antara lain adalah menguraikan lingkungan di mana DPBW dirancang dan diajarkan. Selanjutnya, mengkaji infrastruktur secara organisasional, kompetensi yang dimiliki personal, akses peserta didik terhadap teknologi, dan daya dukung fasilitas yang tersedia.
Lingkungan merupakan komponen penting dalam merancang PBW. Misalnya, DPBW untuk SMP, SMA/SMK atau PT memiliki karakteristik berbeda. Desainer harus betul-betul memahami kondisi lingkungan agar menyesuaikan konten yang disediakan dalam  DPBW.
Infrastruktur harus menjadi pertimbangan karena tanpa dukungan infrastruktur yang baik  DPBW tidak mungkin dapat berjalan optimal. Sumber daya pendukung seperti teknisi atau laboran  dipastikan tersedia secara lengkap.
5)   Linear’s Analysis
     Tujuan dari LA (learner’s analysis) menurut Davidson (1999) adalah untuk mengidentifiksikan minat  peserta didik, kebutuhan, kemampuan dan juga pengetahuan awal, keterampilan, dan pengalaman. Misalnya, menentukan minat, bakat dan  keterampilan kelompok belajar adalah kebutuhan untuk  menciptakan contoh- contoh yang tepat  dalam pembelajaran dan latihan-latihan praktik yang relevan.
     DPBW dilaksanakan secara individu yang mengharapkan adanya motivasi tinggi dari peserta didik untuk belajar mandiri. Oleh karena itu, desainnya harus dapat memberikan dorongan kepada peserta didik untuk mengikuti pembelajaran yang sesuai dengan minat bakat dan keterampilan peserta didik.
6)   Instructional Content  Analysis
Para desainer menentukan struktur dan urutan dari langkah utama dan keterempilan tambahan  yang akan dipresentasikan dalam DPBW. Analisis ini dilaksanakan untuk mengetahui di mana DPBW harus dimulai dan keterampilan awal apa yang diperlukan oleh seseorang peserta didik untuk berpartisipasi secara baik. Sesuai dengan teori yang melandasi DPBW bahwa belajar dengan konsep pendekatan belajar mandiri harusnya mengikuti langkah-langkah pembelajaran secara bertahap. Tahapan materi ini memungkinkan peserta didik dapat mengikuti dan menguasai dari yang paling sederhana sampai yang kompleks.
b.    Evaluation Planning Stage
EPS (Evaluation Planning Stage) mengajukan pertanyaan sebagai berikut :
1)      Siapa stakeholder-nya ?
2)      Apa yang dievaluasinya ?
3)      Siapa evaluator dan reviewer-nya?
4)      Bagaimana metode evaluasinya ?
5)      Kapan dan bagaimana evaluasi itu diambil ?
6)      Apa jenis keputusan yang perlu dibuat dan rencana desain PBW dan bagaimana mengembangkannya.
Bagian akhir  dari rencana evaluasi formatif adalah ujicoba dengan pengguna akhir. Lalu point lainnya adalah mencoba membuat perbandingan antara model DPBW jika dibandingkan model di tradisional. Implemementasi awal digunakan untuk uji lapangan dari protipe.
Bagian kedua dari langkah rencana evaluasi adalah mengembangkan rencana awal untuk evaluasi sumatif. Hal ini penting dalam model DPBW. Sering terjadi di mana data tentang produk pembelajaran dan praktik tidak terkumpul sebelum sebuah inovasi baru diperkenalkan dan kemudian di evaluasi yang bernilai menjadi hilang. Tujuan dari rencana preliminary evaluasi sumatif meyakinkan bahwa terjaminnya  kebutuhan pengumpulan data yang terjadi pada desain sebelumnya  dan dapat dijadikan dasar perencanaan pembelajaran baru.



c.    Concurrent Design Stage
Berdasarkan temuan pada tahapan analisis dan rencana evaluasi (Rasmussen & Shivers : 2003), maka tahapan berikutnya adalah proses desain, pengembangan, implementasi awal dan evaluasi.
1)   Preplanning Activities
Tahapan desain yang disetujui secara actual dimulai dengan kegiatan preplanning, diutamakan untuk memulai proses perancangan yang terkait dengan rancangan biaya dan alokasi sumber daya. Desainer pembelajaran atau manajer proyek dapat mengidentifikasi  tugas-tugas utama dan waktu yang diperlukan untuk mengembangkan DPBW.
2)   Design Processes
Proses desain mencakup tujuan khusus dan bentuk asesmen (Gagne, dkk :1992) yang diperlihatkan dalam bentuk TOAB (Task-Objective-Assesment Item Blueprint). TOAB  berisikan identifikasi tugas pembelajaran (konten) tujuan DPBW, dan contoh item dari asesmen serta memberikan penjelasan tentang cara menyelesaikan tugas tersebut. Strategi pembelajaran dan motivasi perlu juga direncanakan dan dokumentasikan dalam lembar kerja strategi DPBW. Lembar kerja ini  menjadi blueprint kedua dari produk DPBW.
3)   Development Processes
Strategi pengembangan dalam bentuk pengulangan desain DPBW tidak perlu menunggu desain selesai secara lengkap. Setelah satu seksi desain dapat diselesaikan, selanjutnya dilakukan pengembangan dalam bentuk penyempurnaan secara simultan. Langkah-langkah seperti ini selalu dilakukan dalam pengembangan DPWB yang secara terus menerus dikembangkan sesuai dengan masukan (Feedback) yang diperoleh selama proses desain. Proses desain simultan ini dapat membantu desainer merencanakan dan menciptakan unit-unit pembelajaran baik yang sederhana maupun yang kompleks.
d.    Implementation Stage
Tahapan implementasi terjadi apabila PBW sudah siap digunakan oleh peserta didik. Tahapan implementasi ini dapat dilakukan dalam dua tahapan lagi yaitu implementasi awal dan implementasi penuh.
1)   Initial Implementation
Implementasi awal ini merupakan bagian dari desain secara simultan. Hal ini juga bagian dari evaluasi formatif yang memungkinkan desainer mendapat hasil uji lapangan yang benar-benar actual dengan audiens yang nyata. Selain itu juga pada tahap ini dapat dilihat perbedaan antara model DPBW dengan model desain pembelajaran lainnya.
2)   Full Implementation
Dalam implementasi penuh ditekankan pada hubungan antar berbagai komponen atau aspek seperti sumber daya manusia dan manajemen. Implementasi penuh terjadi bila semua revisi utama telah dilengkapi dan PBW telah dapat didesiminasikan pada audiens yang lebih besar (Gagne, dkk: 1992). Dalam implementasi penuh hanya ada dua aspek yang paling penting yaitu sumber daya manusia dan manajemen.
Sumber daya manusia merupakan kelengkapan penting untuk membangun komunitas belajar yang dilaksanakan oleh tim implementasi. Tim ini mencakup instruktur, peserta didik, dukungan teknisi, dan administrasi serta mentor.
Manajemen diperlukan untuk memelihara PBW tetap berjalan sepanjang waktu tanpa hambatan. Dukungan manajemen diperlukan untuk meng-apdate websaite secara rutin, menyiapkan link aktif, meng-upgrade software dan berbagai utilitas lainnya.
Berdasarkan paparan di atas dapat disimpulkan bahwa evaluasi sumatif dirancang secara silkus selama proses perancangan, kemudian PBW diimplementasikan dalam waktu tertentu. Tujuan evaluasi sumatif adalah apakah PBW masih dibutuhkan atau masih efektif. Prosedur evaluasi formatif didasarkan pada rencana awal yang diusulkan oleh desainer selama masa perencanaan. Dalam PBW evaluasi formatif menjadi sebuah bentuk penelitian yang diawali dengan riset, laporan tentang proses, hasil dan rekomendasi yang dipersiapkan bagi stakeholder untuk membantunya membuat keputusan tentang masa depan penggunaan PBW.
Model DPBW merupakan sebuah pendekatan terpadu yang menekankan bahwa desain PBW, pengembangan dan implementasi sesuai dengan tujuan pembelajaran dan juga dibutuhkan oleh peserta didik dan sekolah. Oleh karena itu, merencanakan PBW adalah sebuah desain yang kompleks dan memadukan antara desain pembelajaran yang umum berlaku dan menggunakan Web sebagai media penting untuk menyampaikan pesan.

E. KONSEP BELAJAR JARAK JAUH
            Konsep yang melandasi DPBW adalah pendidikan jarak jauh (Distance Learning). Artinya pendekatan yang digunakan dalam mendisain PBW didasarkan pada konsep pendidikan jarak jauh. Implikasinya terhadap DPBW adalah bahwa DPBW dirancang dengan menerapkan kaidah-kaidah pembelajaran jarak jauh.
Schlosser dan Anderson (1994) menyatakan mendefinisikan kembali peran pendidikan jarak jauh dalam kaitannya dengan penerapan teknologi, masalah desain, metode dan strategi untuk meningkatkan interaktivitas dan belajar aktif, karakteristik peserta didik, dukungan peserta didik, masalah operasional, kebijakan dan isu-isu pengelolaan, pemerataan dan aksesibilitas, dan biaya /manfaat merupakan sesuatu yang penting untuk dilakukan.
Definisi ulang diperlukan untuk membuat pembelajaran jarak jauh dapat menyesuaikan diri dengan perkembangan yang terjadi dalam teknologi dan informasi. Ini termasuk mendefinisikan kembali peran kunci peserta didik, seleksi dan penerapan teknologi, masalah desain, strategi untuk meningkatkan interaktivitas da aktivitas belajar , karakteristik pelajar, pelajar dukungan, masalah operasional, kebijakan dan isu-isu pengelolaan, pemerataan dan aksesibilitas.
Membahas metode-metode dan strategi untuk merancang dan memberikan pembelajaran jarak jauh dibutuhkan untuk menggambarkan karakteristik peserta didik, cara mereka belajar, factor- factor yang mempengaruhi keberhasilan, dan system dukungan yang tersedia. Selain itu juga perlu diketahui tentang masalah operasional, termasuk adopsi teknologi dan mendefinisikan peran berbagai komponen termasuk personalia pendukung.
Rasmussen & Shivers (2003) menjelaskan perbedaan antara Distance Learning dan bukan Distance Learning dengan gambaran sebagai berikut :


Lokasi


Sama
Berbeda
Waktu
Sama
Bukan Pendidikan Jarak Jauh

Pendidikan Jarak Jauh
Berbeda
Pendidikan Jarak Jauh
Pendidikan Jarak Jauh
Gambar 37. Perbedaan Waktu dan Lokasi dalam BJJ
            Ada dua fungsi yang dapat dijadikan sebagai dasar dalam menyatakan perbedaan pendidikan jarak jauh atau bukan yaitu waktu dan lokasi antara pendidik dan peserta didik atau antara sender dan receiver pesan.
            Pertama, apabila pembelajaran terjadi dalam waktu dan lokasi yang sama, maka itu bukan pembelajaran jarak jauh. Kedua, jika proses pembelajaran dilaksanakan dalam waktu yang sama tetapi pada lokasi yang berbeda, maka ia termasuk kelompok pembelajaran jarak jauh.
            Ketiga, jika pembelajaran dilaksanakan dalam waktu yang berbeda dan lokasi yang sama, maka pembelajarannya dikategorikan pada pembelajaran jarak jauh.
            Keempat, apabila pembelajaran dilaksanakan pada waktu dan lokasi yang berbeda, maka dikelompokkan pada pembelajaran jarak jauh.
            Berdasarkan uraian di atas, jika waktu dan lokasi dijadikan sebagai dasar pertimbangan, maka hanya satu yang bukan pembelajaran jarak jauh yaitu pembelajaran yang dilaksanakan pada waktu dan tempat yang sama. Oleh karena itu, pengertian pembelajaran jarak jauh juga harus memenuhi ketiga variasi fungsi dari waktu dan lokasi pembelajaran.
1.    Definisi Pendidikan Jarak Jauh
Pendidikan jarak jauh atau pembelajaran jarak jauh adalah bidang pendidikan yang berfokus pada pedagogi dan andragogi, teknologi, dan desain sistem instruksional yang bertujuan untuk memberikan pendidikan kepada peserta didik yang tidak secara fisik berada di lokasi tertentu dalam waktu yang sama. Dengan kata lain pembelajaran jarak jauh adalah proses menciptakan pengalaman pendidikan yang memiliki nilai kualitatif sama bagi peserta didik untuk memenuhi kebutuhan pembelajaran mereka diluar kelas.

Definisi yang lebih menjurus pada penggunaan teknologi informasi berbasis internet menyatakan bahwa pembelajaran jarak jauh atau disebut juga e-learning adalah sistem pengajaran dan pembelajaran formal yang dirancang khusus untuk dilakukan dari jarak jauh dengan menggunakan komunikasi elektronik. Karena pembelajaran jarak jauh lebih murah untuk mendukung dan tidak dibatasi oleh pertimbangan geografis, ia menawarkan kesempatan dalam situasi dimana pendidikan tradisional mengalami kesulitan beroperasi. Peserta didik dengan masalah jadwal atau jarak mendapatkan keuntungan, karena pendidikan jarak jauh dapat lebih fleksibel dalam hal waktu dan dapat disampaikan hampir dimana saja dan kapan saja.

2.    Teori dan Konsep Pendidikan Jarak Jauh
Landasan teoritis yang digunakan dalam model instruksional tidak hanya mempengaruhi cara informasi di komunikasikan kepada peserta didik, tetapi juga cara mereka mengkonstruksi pengetahuan baru dari informasi yang di sajikan secara rasional. Dua pandangan saling bertentangan yang mempengaruhi desain instruksional yaitu pengolahan simbol dan kognisi (Bredo : 1994).

Pandngan dominan yang lazim di gunakan adalah  pendekatan pemprosesan informasi, yang di dasarkan pada konsep komputer melakukan operasi pada simbol -simbol resmi (Seamans, 1990). Konsep kunci adalah bahwa guru dapat  menularkan informasi tertentu kepada peserta didik melalui stimulus eksternal. Para peserta didik, pada giliran nya menyerap, menerjemah kan informasi menjadi sebuah informasi baru.

Horton (1994) memodifikasi pendekatan ini dengan menambahkan dua faktor tambahan : konteks siswa (lingkungan, situasi saat ini, input sensorik lainnya) dan pikiran (ingatan, asosisi, emosi, kesimpulan dan penalaran, rasa ingin tahu.

Pendakatan alternatif ini didasarkan pada prinsip-prinsip konstruktivist,  di mana pserta didik secara aktif membangun pengetahuan internal dan berinteraksi dengan materi yang akan di pelajari. Ini dasar dari kedua komponen yaitu  kognisi (streibel, 1991) dan problembased learning (save ry & duffy, 1995). Nourse dan Ploden(1994) menyatakan bahwa, untuk melaksanakan konstruktivisme dalam pelajaran, seseorang harus mengalihkan fokus seseorang keluar dari mode transmisi tradisional untuk sesuatu yang jauh lebih kompleks, interaktif, dan berkembang.

 Walaupun teori ini sangat berbeda di lapangan,  desainer yang efektif biasanya mulai dengan pengetahuan empiris seperti objek, peristiwa, dan praktik yang mencerminkan lingkungan peserta didik sehari- hari . dengan landsan teoritis yang kuat, mereka mengembangkan sebuah presentasi yang memungkinkan peserta didik untuk membangun pengetahuan baru sesuai dengan pembelajaran yang telah mereka lakukan dengan cara berinteraksi. Peneliti Al, Herbert A Simon(1994), menyatakan bahwa manusia terbaik adalah ketika mereka berinteraksi dengan dunia nyata dan menarik pelajaran dari kesan dan “goresan” yang mereka dapatkan.

Schlosser dan Anderson (1994) merujuk kepada Desmond keegan tentang teori pendidikan jarak jauh, dimana sistem pembelajaran jarak jauh harus dapat menciptakan setting artifisial menciptakan interaksi belajar-mengajar dan mengintegrasikan kembali kedalam proses pembelajaran. Dasar dari Model IOWA yang menawarkan kepada peserta didik agar mereka mendapat pengalaman yang tidak jauh berbeda dengan kelas tradisional, pembelajaran face to face, melalui kelas utuh dan hidup, interaksi dua arah Audio-Visual. Model Norwegia memiliki tradisi panjang menggabungkan antara sistem pembelajaran jarak jauh dengan selingan kelas tradisional yang langsung bertatap muka (Rekkedal, 1994).

Hilary Perraton (1988) mendefinisikan peran guru dalam pembelajaran jarak jauh. Ia bertatap muka dengan mahasiswa jarak jauh, maka ia menjadi fasilitator pembelajaran, dan bukan seorang komunikator informasi. Sistem pendidikan jarak jauh melibatkan interaktifitas tingkat tinggi antara guru dan peserta didik, bahkan itu dapat terjadi di pendesaan dan masyarakat terpencil mungkin dipisahkan jarak ribuan kilometer. “Office of Technology Assesment menekankan pentingnya inter- aktivitas : pembelajaran jarak jauh memungkinkan siswa untuk mendengar dan memungkinkan melihat guru-guru, untuk bereaksi terhadap siswa mereka melalui komentar dan pertanyaan”.

Virtual komunitas pembelajaran  yang dapat dibentuk, di mana mahasiswa dan peneliti diseluruh dunia yang merupakan bagian dari kelas yang sama atau kelompok studi dapat menghubungi satu sama lain kapan saja siang atau malam untuk berbagai pengamatan, informasi, dan keahlian satu sama lain ( VanderVen, 1994: Wolfe, 1994).

3.    Sistem Pendidikan Jarak Jauh
Secara tradisional, guru/dosen berpikir bahwa peserta didik dalam pendidikan jarak jauh sebagai orang dewasa. University of South Africa (UniSA), di Pretoria, Pembelajaran jarak jauh disiarkan televisi Program Bahasa Jepang, dikembangkan di North Carolina State University, memberikan instruksi dalam bahasa jepang untuk sepuluh perguruan tinggi dan universitas di lima negara bagian Tenggara (Clifford, 1990)

Pada Sekolah dasar dan tingkat menengah, pembelajaran jarak jauh biasanya mengambil bentuk modul pengayaan Kurikulum dan proyek telekomunikasi berkelanjutan. Modul lain berbasis televisi dengan guru sebagai fasilitator. Siswa bekerja dalam kelompok yang bekerja secara kolaboratif dalam lingkungan belajar jarak jauh (Pacific mountain Network, 1994).

Teknologi merupakan bagian integral dari pendidikan jarak jauh, setiap program harus fokus pada kebutuhan instruksional peserta didik, bukan pada teknologi itu sendiri. Faktor yang paling penting untuk keberhasilan pembelajaran jarak jauh adalah perhatian, guru yang bersangkutan percaya diri, berpengalaman, merasa nyaman dengan peralatan, menggunakan media kreatif, dan mempertahankan keakraban tingkat tinggi untuk berinteraksi dengan para siswa.

4.    Pertimbangan Desain
Ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam pembelajaran jarak jauh. Willis (1992) menggambarkan proses pengembangan instruksional untuk pendidikan jarak jauh, terdiri dari tahap Desain, pengembangan, evaluasi, dan revisi. Agar pendidikan jarak jauh efektif dalam pembelajaran, guru/dosen harus mempertimbangkan tidak hanya tujuan, kebutuhan dan karakteristik guru dan siswa, tetapi juga isi, persyaratan dan kendala teknis. Jika sistem pengiriman biasa diperlukan, pembelajaran harus dapat diakses oleh semua peserta.

Materi dan metode yang direvisi berdasarkan masukan dari instruktur, spesialis, konten, dan peserta didik adalah proses yang berkelanjutan. Ketentuan harus dibuat untuk meng-update terus-menerus pembelajaran yang berubah-ubah tergantung pada informasi, untuk menjaga pokok persoalan selalu up to date dan relevan (Porter, 1994).

a)        Interaktivitas
Keberhasilan sistem pendidikan jarak jauh melibatkan interaksi antara guru dan peserta didik, antar siswa dan lingkungan belajar, dan di antara peserta didik sendiri, serta pembelajaran aktif dikelas. McNabb (1994) mencatat bahwa mahasiswa merasa aksesibilitas pembelajaran jarak jauh kurangnyua dialog dibandingkan dengan tatap muka kelas.

Millbank (1994) mempelajari efektivitas campuran audio plus video dalam pelatihan perusahaan. Ketika ia memperkenalkan real-time interaktivitas, tingkat referensi peserta pelatihan telah dibangkitkan dari sekitar 20 persen (menggunakan metode kelas biasa) menjadi sekitar 75 persen. Elemen kunci dalam Porter’s (1994) proyek New Directions di Distance Learning (NDDL) adalah peningkatan bahan belajar secara mandiri melalui penggunaan teknologi komunikasi interaktif dan mediasi guru.

Interaksi menggunakan berbagai bentuk, tetapi tidak hanya terbatas pada audio dan video, atau semata-mata untuk interaksi guru-murid. Garrison (1990) berpendapat bahwa kualitas dan integritas dari proses pendidikan tergantung pada keberlanjutan dan komunikasi dua arah. Tanpa konektivitas, pembelajaran jarak jauh berubah menjadi kursus korespondensi lama model studi bebas. Mahasiswa menjadi otonom dan terisolasi dan akhirnya keluar dari konteks pembelajaran. Pendidikan jarak jauh yang efektif tidak boleh menjadi independen dan terisolasi dalam bentuk pembelajaran dan seharusnya mendekati ideal dari pengalaman belajar yang otentik.



b)       Pembelajaran Aktif
Sebagai peserta aktif dalam proses belajar, peserta didik dipengaruhi oleh cara bagaimana mereka berhubungan dengan materi yang harus dipelajari. Peserta didik harus memiliki rasa memilikiterhadap tujuan pembelajaran (Save ry & Duffy, 1995). Mereka harus sama-sama mau dan mampu menerima pesan instruksional. Studi Salamon’s menemukan bahwa usaha mental seseorang pelajar yang akan berinvestasi dalam tugas belajar tergantung pada persepsi sendiri yang terdiri dari dua faktor.
1)      Relevansi dari kedua media dan pesan
2)      Kemampuannya untuk membuat sesuatu yang bermakna keluar dari materi yang disampaikan.

c)        Visual Imagery (Citra Visual)
Para peneliti secara konsisten telah menemukan bahwa televisi instruksional dapat memotivasi dan memikat siswa, dan merangsang minat dalam proses belajar. Ravitch (1987) memperingatkan kita terhadap efek samping yang tidak disengaja televisi pendidikan pada khususnya dan juga “edutaiment” pada umumnya. Ketergantungan pada visual yang menarik dapat mendistorsi kurikulum dengan memfokuskan perhatian siswa pada provokatif menghibur dan fitur presentasi daripada mendorong analisis mendalam makna yang mendasari mereka.

White (1987) menambahkan bahwa jika isu-isu kompleks disajikan dalam unit pendek, melalui gambar yang kuat dapat terjadi dalam urutan apapun, hasil akhirnya akan membuat penyederhanaan dan pendangkalan. Siswa harus belajar untuk membedakan antara “sampah” informasi dan informasi berkualitas, dapat menilai keandalan atau bias, untuk mengidentifikasi distorsi dan sensasi, untuk membedakan fakta dari persuasi, dan memahami bagaimana bentuk informasi yang dibawa oleh teknologi itu sendiri.


d)       Effective Communication (Komunikasi Efektif)
Ben Shneiderman (1992) memperingatkan semua desainer instruksional untuk memulai dengan pemahaman yang dimaksudkan pengguna, dan untuk mengenali mereka sebagai individu yang berbeda pandangan dari desainer itu sendiri. Horton (1994) menyatakan aturan penting untuk perancang instruksional visual : “berkomunikasi kepada orang lain sejatinya dibuat sebagaimana mereka akan berkomunikasi kepada diri mereka sendiri”. Dengan kata lain jika Anda ingin pembelajar membangun sebuah ide yang serupa dengan Anda, kemudian menggunakan sebuah gambar untuk presentasi, akan memicu ide serupa dalam benak pelajar.

Sejatinya tidak ada dua peserta didik akan membentuk ide yang sama, juga tidak mungkin bahwa gagasan mereka akan menjadi sama dengan perancang.

e)        Metode dan Strategi
Guru membutuhkan pelatihan dalam desain pesan instruksional, strategi untuk memberikan  instruksi didepan kamera, metode diversifikasi jenis presentasi, memilih berbagai campuran dari kegiatan guru-murid dan interaksi, memilih situasi dan contoh yang relevan dengan murid-murid mereka, dan menilai tingkat pembelajaran yang seharusnya dicapai oleh siswa dalam pembelajaran jarak jauh.

Mereka juga perlu banyak dibimbing, menangani praktik pengembangan dan memberikan perhatian khusus pada penggunaan audio, full-motion video, grafik dan teks didepan penonton yang hidup. Strategi seperti menggunakan OHP yang lebih sedikit dan lebih banyak video bergerak, “berbicara kepala” dengan situs video, menggunakan percobaan, menggabungkan teks dan seni grafis, serta pedoman lainnya untuk produksi video yang efektif juga berharga (Willis, 1993).

f)         Media Berbasis Tantangan
Pengajaran instruksional khusus bahasa asing menyajikan tantangan, bukan hanya kurangnya interaksi langsung dua-arah yang menjadi ciri banyak program pendidikan jarak jauh, tetapi juga karena hilangnya efek visual dalam video-conference terutama gerakan-gerakan bibir. Hal ini dapat diatasi dengan memberikan oral siswa praktik dan umpan balik melalui percakapan telephon dengan instruktur, dan strategi pengajaran yang mendorong dialog guru-siswa (Clifford, 1990; Bruce & Shade, 1994).
Pembelajaran jarak jauh yang efektif memerlukan persiapan yang matang, serta menyesuaikan strategi pembelajaran tradisional untuk lingkungan belajar baru yang sering kekurangan petunjuk visual.

Willis (1993) menggambarkan strategi yang efektif dalam pembelajaran jarak jauh : yaitu mengembangkan metode yang tepat umpan balik dan penguatan, mengoptimalkan konten dan kecepatan, beradaptasi dengan gaya belajar siswa yang berbeda, dengan menggunakan studi kasus dan contoh-contoh yang relevan denga  target audiens, menjadi ringkas, melengkapi pembelajarannya dengan mencetak informasi, dan menyesuaikan pembelajaran.

McNabb (1994) mencatat bahwa lebih banyak penelitian eksperimental diperlukan dalam bidang seleksi media dimana para peneliti dapat membandingkan efektifitas teknologi berbeda dengan isi serupa yang mengantarkan pada khalayak serupa. Akan sangat berguna untuk menganalisis isi dari modul pembelajaran, tujuan dari mahasiswa, guru, dan sekolah itu sendiri, mengimplementasikan beberapa teknologi yang berbeda, dan menentukan faktor apa yang mempengaruhi kesuksesan pengiriman pesan pembelajaran.



g)        Inguiry Pembelajaran
Guru memerlukan adanya pembelajaran dengan teknik terbaru, karena ia menjadi fasilitator dari pembelajaran penemuan untuk murid-muridnya, melalui wacana progresif. Bahkan jika seorang guru terlatih dan santai menggunakan peralatan didalam kelas, ia masih memerlukan pelatihan untuk mengintegrasikan startegi pengajaran baru dengan teknologi.

Office of teknology Assesment (US. Kongres, 1998) dalam studi mereka diruang kelas dengan menggunakan “Petualangan Mimi” program multimedia, peneliti mengamati bahwa guru-guru cenderung untuk menanyakan mayoritas pertanyaan, dihargai siswa untuk menebak dengan benar, dan diperlukan terus-menerus bantuan dalam menjaga iklim kelas yang menekankan penalaran dibandingkan jawaban yang benar.

h)       Teamwork
Kemajuan guru sebagai adapter awal teknologi bisa menjadi agen perubahan bagi teman-teman mereka (Pacific mountain Network,1994). Mereka dapat mendukung guru-guru lain dengan perencanaan kedepan sebagai sebuah kelompok, dan bekerja denga modul pembelajaran dan peralatan sebelum menggunakannya di dalam kelas. Fasilitator dapat mencoba belajar melalui rekaman video, interaktif sesuai gaya belajar peserta didik tertentu, dan kemudian mengintegrasikan program nyata ke dalam jadwal mereka dikemudian hari.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar