C.
Teori Komunikasi
Dalam
perspektif, teori komunikasi merupakan landasan lainnya dalam DPBW. Richey
(dalam Romussen 1986) menyatakan bahwa
teori komunikasi menjelaskan proses penyampaian informasi, bentuk dan struktur
informasi serta fungsi dan pengaruh informasi.
Komunikasi
berpengaruh terhadap bagaimana pesan diciptakan dan distribusikan dari
instruktur, antar peserta didik dan pengaruhnya terhadap dirinya sendiri. Pada
dasarnya model komunikasi diawali dari
seorang sender menciptakan pesan dan mengirimkannya kepada receiver melalui
sistem penyampaian pesan. Setelah pesan diterima, receiver memproses dan lalu
menginterpretasikan kemudian memberikan umpan balik kepada sender.
Prinsip-prinsip
utama dari teori komunikasi yang digunakan dalam desain PBW (Pembelajaran
Berbasis Web) dihubungkan dengan desain pesan yang dinyatakan bahwa: Desain
pesan merupakan salah satu langkah proses pengembangan yang membawa spesifikasi
cetak biru desain pembelajaran dalam detail yang lebih besar. Seperti cetak
biru untuk sebuah rumah yang tidak memili spesifikasi sentuhan akhir tentang
warna, penempatan furnitur. Pembelajaran
selalu memberikan spesifikasi bentuk pesan yang harus diambil (
Grabowski: 1995).
Desain
pesan fitur-fitur visual teks dan grafik serta penempatannya dalam satu
halaman. Dalam suatu lingkungan PBW, desain pesan yang cocok tergantung pada
desainer yang tampak dalam bentuk tata letak Web . Ide-ide pada rancangan pesan
membantu desainer menyediakan dialog dan perubahan informasi yang efektif.
Teori
sistem adalah salah satu bidang studi yang memainkan peran penting dalam perkembangan
teori komunikasi. Bertalanffy, Wiener dan lain-lain telah mengembangkan teori
sistem dan sibernetika, melalui studi tentang komunikasi manusia yang fokus
pada linguistik.
Munculnya
teori sistem yang baru ini membuat para ahli komunikasi perlu mempertimbangkan kembali sistem
komunikasi dalam pendekatan yang baru pula yaitu sebuah sistem yang
mengintegrasikan berbagai elemen. Keberartian komunikasi manusia tidak lagi
diperlakukan sebagai sesuatu yang terpisah dan berbeda dari proses komunikasi
lainnya. Bertalanffy (1968) menyatakan bahwa teori sistem komunikasi manusia
diperlakukan sama dengan semua komunikasi lainnya baik itu sistem teknik
(seperti telepon sistem), fenomena komunikasi fisik seperti cahaya atau proses Transfer energi, sistem biologis hidup,
atau seluruh sistem sosial.
Kemajuan
iptek memungkinkan terjadinya proses integrasi dari berbagai elemen termasuk
kaitan terpenting dari komunikasi yaitu informasi. Bertalanffy berpendapat
bahwa komunikasi akan selalu terkait dengan arus infoemasi dalam suatu sistem. Dia menyarankan dalam banyak kasus,
arus informasi berkaitan juga dengan aliran energi (Bertalanffy: 1968).
Pendapat
yang sama dengan Bertalanffy,juga dinyatakan Wiener (1948) bahwa
prinsip-prinsip dasar komunikasi, adalah sama tanpa memperhatikan apakah orang
berurusan dengan sistem mesin, manusia, atau makhluk hidup lainnya. Weiner
lebih lanjut menambahkan bahwa komunikasi adalah salah satu prinsip di mana
alat dikombinasikan dengan sistem lingkungan eksternal.
Pada
tahun 1949, Shannon dan Weaver, diilhami oleh perkembangan teori sistem dan komunikasi baru sibernetika,
memperkenalkan model yang mereka sebut “
informasi”. Komunikasi merupakan hasil dari beroperasinya elemen-elemen
dalam sebuah sistem informasi yaitu sumber
pesan yang diteruskan oleh saluran,
ke penerima.
Saluran
inilah yang banyak mempengaruhi sistem informasi. Saluran ini diistilahkan dengan Bandwidth.
Kapasitas Bandwidth mempengaruhi
tingkat informasi yang dapat disampaikan dan inilah yang sering disebut dengan
ukuran kapasitas komunikasi. Misalnya
dalam istilah modern, kalau seorang terhubung ke internet melalui Modem, besarnya ukuran Bandwidth yang tersedia akan
mempengaruhi seberapa cepat dia dapat mendownload
data.
Saluran
Bandwidth juga mungkin dibatasi oleh bentuk komunikasi. Sebagai contoh, ketika
berbicara pada telepon, saluran terbatas hanya data audio, informasi
visual dikomunikasikan. Wiener (1948)
menunjukkan bahwa efektifitas komunikasi dalam model seperti itu bergantung
pada saluran. Saluran berkualitas tinggi mengirimkan informasi secara bermutu, sedangkan saluran kualitas
rendah mungkin terkontaminasi oleh informasi lain, atau apa yang Weiner sebut
sebagai kebisingan latar belakang.
D.
Model Desain Instruksional
Model
desain instruksional adalah aturan desain yang umumnya berisikan tentang cara
mengajar atau mengarahkan peserta didik untuk belajar sesuai dengan kebutuhan,
subjek dan konteks pada kelas tertentu. Desain instruksional adalah suatu
pendekatan sistematik untuk memastikan bahwa tujuan-tujuan pembelajaran khusus
dapat dicapai. Ini adalah proses yang berulang-ulang secara terus-menerus yang
memerlukan evaluasi dan umpan balik.
Banyak
teori dan model desain instruksional memberikan petunjuk bagi terlaksananya
pembelajaran. Namun, tidak seluruhnya dapat diterima melalui suatu validasi
secara empiris terhadap desain yang sebenarnya telah diuji dalam suatu
lingkungan kelas untuk mendukung logika model yang diusulkan. Akan tetapi
kurangnya validasi bukanlah suatu kelemahan, karena proses belajar tidak dapat
diprediksi dan tunduk pada sejumlah variabel lain yang telah dianggap
mempengaruhi hasil belajar peserta didik.
Tujuan
utama dari desain instruksional yang efektif adalah untuk membangun pengalaman
belajar bagi peserta didik. Kemp menyarankan perancang instruksional, guru dan
mereka yang menjadi praktisi pembelajaran harus paham bahwa tujuan dari suatu
sistem desain instruksional adalah untuk mencapai hasil belajar diperlukan
dalam kurikulum. Desain sistem instruksional berkaitan dengan sistem,
organisasi dari banyak bagian atau elemen-elemen yang kompleks, untuk mencapai
tujuan inti yaitu hasil pembelajaran.
Kebanyakan
model desain instruksional didasarkan pada landasan behavioris di mana fokusnya
adalah pada hal-hal seperti tujuan belajar dan persyaratan instrumental melalui
penguatan perilaku yang diinginkan.Model ini lebih mengarah pada dekomposisi
dari setiap komponen sistem instruksional ke bagian-bagian komponen yang sudah
umum seperti peserta didik, tujuan, isi, dan strategi pembelajaran. Sistem
pembelajaran model desain yang mendukung pandangan ini, didasarkan pada sebuah
proses yang berurutan diawali dengan defenisi tujuan dan diakhiri dengan
pengembangan komponen pembelajaran untuk mencapai setiap tujuan.
Model
yang lebih progresif mengarah pada landasan pendekatan konstruktivist, yang
menyatakan bahwa belajar itu yang terbaik adalah berdasarkan pengalaman dan
pengetahuan individu yang relevan. Model ini cenderung lebih cair dan tidak
dibatasi pada proses yang berurutan dalam sebuah desain. Selain itu juga
cenderung untuk menggabungkan kegiatan belajar lebih bersifat kolaboratif dan
mengurangi peran guru.
Meskipun
demikian perkembangan model desain instruksional, memiliki beberapa bentuk yang
sama terutama elemen-elemen yang umumnya ada dalam sebuah model desain.
Unsur-unsur yang dianggap ada untuk kedua pendekatan model adalah
mendefenisikan tujuan, menentukan isi, menentukan strategi dan metode
pembelajaran untuk menyajikan materi, dan mengembangkan kurikulum. Kebanyakan
model selalu memasukkan unsur sama dalam elemennya termasuk evaluasi dan umpan
balik pada tahap tertentu dalam proses. Peredaan utama dalam berbagai model
desain hanya terletak pada metode atau pendekatan untuk merancang.
Ada
beberapa hal penting yang perlu diperhatikan bahwa kebanyakan model yang
disajikan dalam literatur adalah linear. Akan tetapi banyak perdebatan muncul
mengenai linearitas model tersebut. Proses belajar tidak dapat diramalkan, oleh
karena itu sejatinya model pembelajaran juga hampir tidak pernah mengikuti
proses yang linear dengan pencapaian kemajuan berurutan. Berdasarkan
pertimbangan tersebut sebaiknya setiap pendekatan yang digunakan harusnya fleksibel, harus mencerminkan realitas
lingkungan belajar, dan harus memperhatikan proses praktis desain instruksional
(yaitu, harus sesuai dengan lingkungan kelas dan bukan model hipotesis untuk
pengujian tujuan).
Proses
intensif desain instruksional dalam waktu yang serba cepat tidak selalu
memungkinkan Anda untuk mengikuti langkah demi langkah proses yang sistematis.
Banyak urutan langkah terjadi secara bersamaan atau dalam beberapa kasus, tidak
sama sekali. Walaupun model dapat membantu dalam memfokuskan usaha untuk desain
Anda, seharusnya tidak menghindari situasi pembelajaran. Sebaliknya,
mengadaptasi model sesuai dengan kebutuhan Anda, mulai dengan model yang
memungkinkan Anda untuk mengembangkan program studi dalam waktu dan anggaran
yang tersedia. Pembelajaran yang sukses tidak hanya dilandaskan pada kemudahan
merancang model desain instruksional, tapi didasarkan sejauh mana peserta didik
memperoleh keterampilan dan mampu men Transfer mereka ke tempat kerja yang
lebih baik.
Model
desain instruksional (MDI) merupakan bagian yang tak terpisahkan dari desain
pembelajaran berbasis Web. MDI dijadikan sebagai landasan dalam merancang DPBW
(desain pembelajaran berbasis Web)
konten, strategi penyampaian dan bentuk evaluasi berpola pada MDI. Model
pembelajaran dalam DPBW menggunakan pola yang sama dengan model-model
pembelajaran lainnya. Hanya saja dalam DPBW ada penekanan terhadap konsep yang
mengarah pada pembelajaran jarak jauh.
Menggunakan
model desain instruksional adalah suatu keharusan karena landasan DPBW secara
hakikatnya tidak berbeda dengan konsep pembelajaran lainnya. Ada dua model
pembelajaran yaitu model tradisional dan model alternatif.
1.
Model
Tradisional
Andrew
and Goodson (1980) telah melakukan analisis terhadap model-model dasar DI
(desain instruksional), hanya sedikit yang menggunakannya dalam program DI.
Sebagian besar model DI mengikuti ADDIE model (Analysis, Design, Development,
Implementation and Evaluation).
“Model
DI umumnya memiliki elemen-elemen ini termasuk menentukan kebutuhan peserta
didik, mengidentifikasikan dan tujuan pembelajaran, mengembangkan alat asesmen,
merancang strategi dan media pembelajaran, dan melaksanakan tes lapangan
(evaluasi formatif)” Andrew and Goodson (1980).
Model
ADDIE adalah model desain instruksional sistematis yang terdiri dari 5 fase:
(1) Analisis, (2) Desain, (3) Pengembangan, (4) Pelaksanaan, dan (5) Evaluasi,
sebenarnya tidak diketahui secara pasti penggagas pertama. Akan tetapi Dick dan
Carey melakukan perbaikan dan mengembangkan model tersebut.
Lima
langkah desain yang menggunakan model ADDIE adalah sebagai berikut:
a.
Analisis
Selama
proses analisis, perancang pembelajaran mengidentifikasi masalah, tujuan, dan
sasaran, kebutuhan peserta didik, pengetahuan, dan karakteristik lain yang
relevan. Analisis juga mempertimbangkan lingkungan belajar, setiap kendala,
pilihan penyampaian pesan, dan waktu yang tersedia.
b.
Desain
Sebuah
proses sistematis yang menetapkan tujuan belajar. Menjelaskan skenario
pembelajaran, prototipe, capaian hasil belajar, desain grafis, dan konten.
c.
Pengembangan
Tahap
ini sebenarnya pengembangan isi dan materi pembelajaran berdasarkan tahap yang
telah dilaksanakan sebelumnya (desain).
d.
Pelaksanaan
Selama
pelaksanaan, rencana dimasukkan kedalam tindakan dan prosedur pembelajaran bagi
para peserta didik dan guru yang telah dikembangkan. Bahan itu dikirim atau
dibagikan kepada kelompok peserta didik. Setelah dilaksanakan, efektifitas
materi pembelajaran dievaluasi.
e.
Evaluasi
Fase
ini terdiri dari evaluasi (1) formatif dan (2) sumatif. Evaluasi formatif hadir
dalam setiap tahapan proses Addie. Evaluasi sumatif terdiri dari tes yang
dirancang untuk mendapatkan informasi yang cukup tentang hasil evaluasi, revisi
dibuat sesuai dengan kebutuhan.
Desain
instruksional model tradisional memang banyak mendapatkan kritik dan diragukan
keberhasilannya. Ada beberapa alasan mengapa model tradisional diperkirakan
tidak akan berhasil. Mungkin karena desainnya tidak lengkap, atau karena mereka
tidak memperhitungkan karakteristik pengetahuan. Desain instruksional model
tradisonal memiliki kualitas linear yang dalam banyak kasus sebenarnya bukan
cerminan dari proses desain. Bahkan ada yang berpendapat secara spesifik bahwa
model desain instruksional dengan fitur berhirarkhi dan berurutan tidak cukup
mewakili apa yang dilakukan banyak orang dalam pembelajaran.
2.
Model
Alternatif
Selain
model tradisional yang dipaparkan di atas, ada model lain yaitu alternative models. Teori Elaborasi
merupakan suatu larndasan dari model
yang terkait dengan pengembangan pembelajaran
pada level makro (Reigeluth, 1987, 1999). Desain level makro terkait
dengan program-program pendidikan dan pelatihan atau kurikulum dari rancangan
khursus atau pelajaran. Desain level makro (DLM) merupakan suatu landasan
penting untuk DPBW yang direncanakan. DLM ini juga mendapat perhatian untuk
dipertimbangkan sebagai landasan DPBW.
Model
DPBW mencakup langkah-langkah dasar dari analisis, desain dan pengembangan,
implementasi dan evaluasi yang umum terjadi dalam DI model tradisional, tetapi
diaplikasikan dalam cara yang berbeda. Pendekatan model DPBW dirancang
sebagai proses iteratif yang mengikuti
PBW mengembangkan seluruh langkah desain.
Proses ini diawali dengan
konseptualisasi proyek PBW diakhiri dengan tes sumatif. Setelah
diimplementasikan secara penuh, desain yang disetujui, dikembangkan dan
evaluasi melalui tes formatif.
Rasmussen
& Shivers (2003) menyatakan bahwa model DPBW dimulai dengan tahapan
analisis bergerak ke perencanaan evaluasi. Perencanaan awal evaluasi formatif
dan sumatif terjadi bersamaan. Desain yang disetujui, pengembangan dan
melaksanakan tes formatif mengikuti tahapan perencanaan evaluasi. Dalam sistem
ini, evaluasi menjadi bagian integral dari DPBW. Evaluasi sumatif dilaksanakan
setelah implementasi secara penuh dilaksanakan.
Menentukan
waktu untuk evaluasi sumatif tergantung pada siklus dalam penerapan PBW.
a. Analysis Stage
Tahap analisis merupakan langkah awal dalam
DPWB yang berisikan 2 phase yaitu : analisis masalah dan analisis
komponen pembelajaran. Dokumentasi dari proses DPBW dimulai dalam tahapan ini.
Dokumentasi dari proses DPBW dimulai dalam tahapan ini. Penulisan dokumen ini
merupakan bagian dari laporan yang lebih besar,umumnya diketahui sebagai Design
Document (DD). Perancang menggunakan DD untuk menguraikan prosedur yang
digunakan, keputusan yang dibuat, dan laporan yang dihasilkan. Termasuk
rasionalitas dan justifikasi dalam DD kenapa keputusan itu dibuat dan siapa
yang melakukannya.
1) Problem Analysis
Tujuan dari phase ini adalah untuk
menginvestigasi permasalahan yang muncul dan mengidentifikasi solusi yang
dianggap paling tepat. Ada beberapa langkah yang terkait dalam kajian ini yaitu
adanya jurang antara unjuk kerja yang diinginkan dengan kenyataan yang terjadi.
Perbedaan itu terjadi karena kurangnya
keterampilan, pengetahuan dan motivasi dalam membuat DPWB.
Horton (2000) menyatakan bahwa jika
pembelajaran dianggap sebagai solusi yang paling tepat maka desainer juga harus
menentukan system penyampaian pesan yang paling tepat. Salah satu factor
berpengaruh yang perlu dipertimbangkan untuk menentukan kelayakan PBW adalah
alat evaluasi dan dukungan yang tersedia di institusi di mana PBW akan
dilaksanakan. PWB diciptakan dan dikembangkan dengan merancang halaman web.
Menyediakan dan menggunakan alat serta system manajemen yang memiliki fasilitas
khusus untuk merancang pembelajaran
secara online. Desainer harus memiliki akses terhadap semua komponen
pendukung baik perangkat keras maupun perangkat lunak.
2) Instructional Component Analysis
Phase kedua dari analysis yang diperlukan
desainer untuk menganalisis empat
komponen dari situasi pembelajaran. Empat komponen itu adalah (1) goals,
(2) context, (3) learners, dan (4) instructional content.
(Davidson, 1990; Davidson-shiver 1998). Pertanyaan berikut dapat digunakan
sebagai kerangka analisis ini.
Ø
Apa tujuan PBW ?
Ø
Apa konteks PBW ?
Ø
Siapa peserta didiknya ?
Ø
Apa konten
pembelajarannya?
3) Instructional Goal Analysis
Phase kedua dimulai dengan
mengidentifikasikan tujuan pembelajaran. Pernyataan umum yang menyatakan apa
yang didapatkan peserta didik setelah tujuan pembelajaran PBW lengkap. Level
hasil belajar yang akan dicapai dinyatakan dalam phase ini. Dalam DPBW,
pernyataan tentang kejelasan tujuan pembelajaran dalam bentuk level capaian
yang diharapkan sangat penting, sebab system evaluasi dan criteria penilaian
harus dapat dipahami peserta didik. Peserta didik dapat melihat langsung secara
nyata apa tujuan yang ingin dicapai dalam setiap level pembelajaran.
4) Instructional Context Analysis
ICA (Instructional Context Analysis)
merupakan analisis situasi lingkungan yang terjadi pada waktu yang akan datang
dalam model DPWB. Antara lain adalah menguraikan lingkungan di mana DPBW dirancang
dan diajarkan. Selanjutnya, mengkaji infrastruktur secara organisasional,
kompetensi yang dimiliki personal, akses peserta didik terhadap teknologi, dan
daya dukung fasilitas yang tersedia.
Lingkungan merupakan komponen penting dalam
merancang PBW. Misalnya, DPBW untuk SMP, SMA/SMK atau PT memiliki karakteristik
berbeda. Desainer harus betul-betul memahami kondisi lingkungan agar
menyesuaikan konten yang disediakan dalam
DPBW.
Infrastruktur harus menjadi pertimbangan
karena tanpa dukungan infrastruktur yang baik
DPBW tidak mungkin dapat berjalan optimal. Sumber daya pendukung seperti teknisi atau laboran dipastikan tersedia secara lengkap.
5) Linear’s Analysis
Tujuan
dari LA (learner’s analysis) menurut Davidson (1999) adalah untuk mengidentifiksikan
minat peserta didik, kebutuhan,
kemampuan dan juga pengetahuan awal, keterampilan, dan pengalaman. Misalnya,
menentukan minat, bakat dan keterampilan
kelompok belajar adalah kebutuhan untuk
menciptakan contoh- contoh yang tepat
dalam pembelajaran dan latihan-latihan praktik yang relevan.
DPBW
dilaksanakan secara individu yang mengharapkan adanya motivasi tinggi dari
peserta didik untuk belajar mandiri. Oleh karena itu, desainnya harus dapat
memberikan dorongan kepada peserta didik untuk mengikuti pembelajaran yang
sesuai dengan minat bakat dan keterampilan peserta didik.
6) Instructional Content Analysis
Para desainer menentukan struktur dan
urutan dari langkah utama dan keterempilan tambahan yang akan dipresentasikan dalam DPBW. Analisis
ini dilaksanakan untuk mengetahui di mana DPBW harus dimulai dan keterampilan
awal apa yang diperlukan oleh seseorang peserta didik untuk berpartisipasi
secara baik. Sesuai dengan teori yang melandasi DPBW bahwa belajar dengan
konsep pendekatan belajar mandiri harusnya mengikuti langkah-langkah
pembelajaran secara bertahap. Tahapan materi ini memungkinkan peserta didik
dapat mengikuti dan menguasai dari yang paling sederhana sampai yang kompleks.
b. Evaluation Planning Stage
EPS (Evaluation Planning Stage)
mengajukan pertanyaan sebagai berikut :
1) Siapa stakeholder-nya ?
2) Apa yang dievaluasinya ?
3) Siapa evaluator dan reviewer-nya?
4) Bagaimana metode evaluasinya ?
5) Kapan dan bagaimana evaluasi itu diambil ?
6) Apa jenis keputusan yang perlu dibuat dan rencana desain PBW dan
bagaimana mengembangkannya.
Bagian akhir dari rencana evaluasi formatif adalah ujicoba
dengan pengguna akhir. Lalu point lainnya adalah mencoba membuat perbandingan
antara model DPBW jika dibandingkan model di tradisional. Implemementasi awal digunakan
untuk uji lapangan dari protipe.
Bagian kedua dari langkah rencana evaluasi
adalah mengembangkan rencana awal untuk evaluasi sumatif. Hal ini penting dalam
model DPBW. Sering terjadi di mana data tentang produk pembelajaran dan praktik
tidak terkumpul sebelum sebuah inovasi baru diperkenalkan dan kemudian di
evaluasi yang bernilai menjadi hilang. Tujuan dari rencana preliminary
evaluasi sumatif meyakinkan bahwa terjaminnya
kebutuhan pengumpulan data yang terjadi pada desain sebelumnya dan dapat dijadikan dasar perencanaan
pembelajaran baru.
c. Concurrent Design Stage
Berdasarkan temuan pada tahapan analisis
dan rencana evaluasi (Rasmussen & Shivers : 2003), maka tahapan berikutnya
adalah proses desain, pengembangan, implementasi awal dan evaluasi.
1) Preplanning Activities
Tahapan desain yang disetujui secara actual
dimulai dengan kegiatan preplanning, diutamakan untuk memulai proses
perancangan yang terkait dengan rancangan biaya dan alokasi sumber daya.
Desainer pembelajaran atau manajer proyek dapat mengidentifikasi tugas-tugas utama dan waktu yang diperlukan
untuk mengembangkan DPBW.
2) Design Processes
Proses desain mencakup tujuan khusus dan
bentuk asesmen (Gagne, dkk :1992) yang diperlihatkan dalam bentuk TOAB (Task-Objective-Assesment
Item Blueprint). TOAB berisikan
identifikasi tugas pembelajaran (konten) tujuan DPBW, dan contoh item dari
asesmen serta memberikan penjelasan tentang cara menyelesaikan tugas tersebut.
Strategi pembelajaran dan motivasi perlu juga direncanakan dan dokumentasikan
dalam lembar kerja strategi DPBW. Lembar kerja ini menjadi blueprint kedua dari produk DPBW.
3) Development Processes
Strategi pengembangan dalam bentuk
pengulangan desain DPBW tidak perlu menunggu desain selesai secara lengkap.
Setelah satu seksi desain dapat diselesaikan, selanjutnya dilakukan pengembangan
dalam bentuk penyempurnaan secara simultan. Langkah-langkah seperti ini selalu
dilakukan dalam pengembangan DPWB yang secara terus menerus dikembangkan sesuai
dengan masukan (Feedback) yang diperoleh selama proses desain. Proses
desain simultan ini dapat membantu desainer merencanakan dan menciptakan
unit-unit pembelajaran baik yang sederhana maupun yang kompleks.
d. Implementation Stage
Tahapan implementasi terjadi apabila PBW
sudah siap digunakan oleh peserta didik. Tahapan implementasi ini dapat dilakukan
dalam dua tahapan lagi yaitu implementasi awal dan implementasi penuh.
1) Initial Implementation
Implementasi awal ini merupakan bagian dari
desain secara simultan. Hal ini juga bagian dari evaluasi formatif yang
memungkinkan desainer mendapat hasil uji lapangan yang benar-benar actual
dengan audiens yang nyata. Selain itu juga pada tahap ini dapat dilihat
perbedaan antara model DPBW dengan model desain pembelajaran lainnya.
2) Full Implementation
Dalam implementasi penuh ditekankan pada
hubungan antar berbagai komponen atau aspek seperti sumber daya manusia dan
manajemen. Implementasi penuh terjadi bila semua revisi utama telah dilengkapi
dan PBW telah dapat didesiminasikan pada audiens yang lebih besar (Gagne, dkk:
1992). Dalam implementasi penuh hanya ada dua aspek yang paling penting yaitu
sumber daya manusia dan manajemen.
Sumber daya manusia merupakan kelengkapan penting untuk
membangun komunitas belajar yang dilaksanakan oleh tim implementasi. Tim ini
mencakup instruktur, peserta didik, dukungan teknisi, dan administrasi serta
mentor.
Manajemen diperlukan untuk memelihara PBW tetap
berjalan sepanjang waktu tanpa hambatan. Dukungan manajemen diperlukan untuk
meng-apdate websaite secara rutin, menyiapkan link aktif, meng-upgrade
software dan berbagai utilitas lainnya.
Berdasarkan paparan di atas dapat
disimpulkan bahwa evaluasi sumatif dirancang secara silkus selama proses
perancangan, kemudian PBW diimplementasikan dalam waktu tertentu. Tujuan
evaluasi sumatif adalah apakah PBW masih dibutuhkan atau masih efektif.
Prosedur evaluasi formatif didasarkan pada rencana awal yang diusulkan oleh
desainer selama masa perencanaan. Dalam PBW evaluasi formatif menjadi sebuah
bentuk penelitian yang diawali dengan riset, laporan tentang proses, hasil dan
rekomendasi yang dipersiapkan bagi stakeholder untuk membantunya membuat
keputusan tentang masa depan penggunaan PBW.
Model DPBW merupakan sebuah pendekatan
terpadu yang menekankan bahwa desain PBW, pengembangan dan implementasi sesuai
dengan tujuan pembelajaran dan juga dibutuhkan oleh peserta didik dan sekolah.
Oleh karena itu, merencanakan PBW adalah sebuah desain yang kompleks dan
memadukan antara desain pembelajaran yang umum berlaku dan menggunakan Web
sebagai media penting untuk menyampaikan pesan.
E. KONSEP BELAJAR JARAK JAUH
Konsep yang melandasi DPBW adalah
pendidikan jarak jauh (Distance Learning). Artinya pendekatan yang
digunakan dalam mendisain PBW didasarkan pada konsep pendidikan jarak jauh.
Implikasinya terhadap DPBW adalah bahwa DPBW dirancang dengan menerapkan
kaidah-kaidah pembelajaran jarak jauh.
Schlosser dan Anderson (1994) menyatakan
mendefinisikan kembali peran pendidikan jarak jauh dalam kaitannya dengan
penerapan teknologi, masalah desain, metode dan strategi untuk meningkatkan
interaktivitas dan belajar aktif, karakteristik peserta didik, dukungan peserta
didik, masalah operasional, kebijakan dan isu-isu pengelolaan, pemerataan dan
aksesibilitas, dan biaya /manfaat merupakan sesuatu yang penting untuk
dilakukan.
Definisi ulang diperlukan untuk membuat
pembelajaran jarak jauh dapat menyesuaikan diri dengan perkembangan yang
terjadi dalam teknologi dan informasi. Ini termasuk mendefinisikan kembali
peran kunci peserta didik, seleksi dan penerapan teknologi, masalah desain,
strategi untuk meningkatkan interaktivitas da aktivitas belajar , karakteristik
pelajar, pelajar dukungan, masalah operasional, kebijakan dan isu-isu
pengelolaan, pemerataan dan aksesibilitas.
Membahas metode-metode dan strategi untuk
merancang dan memberikan pembelajaran jarak jauh dibutuhkan untuk menggambarkan
karakteristik peserta didik, cara mereka belajar, factor- factor yang
mempengaruhi keberhasilan, dan system dukungan yang tersedia. Selain itu juga
perlu diketahui tentang masalah operasional, termasuk adopsi teknologi dan
mendefinisikan peran berbagai komponen termasuk personalia pendukung.
Rasmussen & Shivers (2003) menjelaskan
perbedaan antara Distance Learning dan bukan Distance Learning
dengan gambaran sebagai berikut :
Lokasi
|
|||
Sama
|
Berbeda
|
||
Waktu
|
Sama
|
Bukan Pendidikan Jarak Jauh
|
Pendidikan Jarak Jauh
|
Berbeda
|
Pendidikan Jarak Jauh
|
Pendidikan Jarak Jauh
|
Gambar 37. Perbedaan Waktu dan Lokasi dalam
BJJ
Ada
dua fungsi yang dapat dijadikan sebagai dasar dalam menyatakan perbedaan
pendidikan jarak jauh atau bukan yaitu waktu dan lokasi antara pendidik dan
peserta didik atau antara sender dan receiver pesan.
Pertama,
apabila pembelajaran terjadi dalam waktu dan lokasi yang sama, maka itu bukan
pembelajaran jarak jauh. Kedua, jika proses pembelajaran dilaksanakan dalam
waktu yang sama tetapi pada lokasi yang berbeda, maka ia termasuk kelompok
pembelajaran jarak jauh.
Ketiga,
jika pembelajaran dilaksanakan dalam waktu yang berbeda dan lokasi yang sama,
maka pembelajarannya dikategorikan pada pembelajaran jarak jauh.
Keempat,
apabila pembelajaran dilaksanakan pada waktu dan lokasi yang berbeda, maka
dikelompokkan pada pembelajaran jarak jauh.
Berdasarkan
uraian di atas, jika waktu dan lokasi dijadikan sebagai dasar pertimbangan,
maka hanya satu yang bukan pembelajaran jarak jauh yaitu pembelajaran yang
dilaksanakan pada waktu dan tempat yang sama. Oleh karena itu, pengertian
pembelajaran jarak jauh juga harus memenuhi ketiga variasi fungsi dari waktu
dan lokasi pembelajaran.
1.
Definisi Pendidikan Jarak Jauh
Pendidikan
jarak jauh atau pembelajaran jarak jauh adalah bidang pendidikan yang berfokus
pada pedagogi dan andragogi, teknologi, dan desain sistem instruksional yang
bertujuan untuk memberikan pendidikan kepada peserta didik yang tidak secara
fisik berada di lokasi tertentu dalam waktu yang sama. Dengan kata lain
pembelajaran jarak jauh adalah proses menciptakan pengalaman pendidikan yang
memiliki nilai kualitatif sama bagi peserta didik untuk memenuhi kebutuhan
pembelajaran mereka diluar kelas.
Definisi yang lebih
menjurus pada penggunaan teknologi informasi berbasis internet menyatakan bahwa
pembelajaran jarak jauh atau disebut juga e-learning adalah sistem
pengajaran dan pembelajaran formal yang dirancang khusus untuk dilakukan dari
jarak jauh dengan menggunakan komunikasi elektronik. Karena pembelajaran
jarak jauh lebih murah untuk mendukung dan tidak dibatasi oleh pertimbangan
geografis, ia menawarkan kesempatan dalam situasi dimana pendidikan tradisional
mengalami kesulitan beroperasi. Peserta didik dengan masalah jadwal atau jarak
mendapatkan keuntungan, karena pendidikan jarak jauh dapat lebih fleksibel
dalam hal waktu dan dapat disampaikan hampir dimana saja dan kapan saja.
2.
Teori dan Konsep Pendidikan Jarak Jauh
Landasan
teoritis yang digunakan dalam model instruksional tidak hanya mempengaruhi cara
informasi di komunikasikan kepada peserta didik, tetapi juga cara mereka
mengkonstruksi pengetahuan baru dari informasi yang di sajikan secara rasional.
Dua pandangan saling bertentangan yang mempengaruhi desain instruksional yaitu
pengolahan simbol dan kognisi (Bredo : 1994).
Pandngan
dominan yang lazim di gunakan adalah
pendekatan pemprosesan informasi, yang di dasarkan pada konsep komputer
melakukan operasi pada simbol -simbol resmi (Seamans, 1990). Konsep kunci
adalah bahwa guru dapat menularkan
informasi tertentu kepada peserta didik melalui stimulus eksternal. Para
peserta didik, pada giliran nya menyerap, menerjemah kan informasi menjadi
sebuah informasi baru.
Horton
(1994) memodifikasi pendekatan ini dengan menambahkan dua faktor tambahan :
konteks siswa (lingkungan, situasi saat ini, input sensorik lainnya) dan
pikiran (ingatan, asosisi, emosi, kesimpulan dan penalaran, rasa ingin tahu.
Pendakatan
alternatif ini didasarkan pada prinsip-prinsip konstruktivist, di mana pserta didik secara aktif membangun
pengetahuan internal dan berinteraksi dengan materi yang akan di pelajari. Ini
dasar dari kedua komponen yaitu kognisi
(streibel, 1991) dan problembased learning (save ry &
duffy, 1995). Nourse dan Ploden(1994) menyatakan bahwa, untuk melaksanakan
konstruktivisme dalam pelajaran, seseorang harus mengalihkan fokus seseorang
keluar dari mode transmisi tradisional untuk sesuatu yang jauh lebih kompleks,
interaktif, dan berkembang.
Walaupun teori ini sangat berbeda di
lapangan, desainer yang efektif biasanya
mulai dengan pengetahuan empiris seperti objek, peristiwa, dan praktik yang
mencerminkan lingkungan peserta didik sehari- hari . dengan landsan teoritis
yang kuat, mereka mengembangkan sebuah presentasi yang memungkinkan peserta
didik untuk membangun pengetahuan baru sesuai dengan pembelajaran yang telah
mereka lakukan dengan cara berinteraksi. Peneliti Al, Herbert A Simon(1994),
menyatakan bahwa manusia terbaik adalah ketika mereka berinteraksi dengan dunia
nyata dan menarik pelajaran dari kesan dan “goresan” yang mereka dapatkan.
Schlosser
dan Anderson (1994) merujuk kepada Desmond keegan tentang teori pendidikan
jarak jauh, dimana sistem pembelajaran jarak jauh harus dapat menciptakan
setting artifisial menciptakan interaksi belajar-mengajar dan mengintegrasikan
kembali kedalam proses pembelajaran. Dasar dari Model IOWA yang menawarkan
kepada peserta didik agar mereka mendapat pengalaman yang tidak jauh berbeda
dengan kelas tradisional, pembelajaran face to face, melalui kelas utuh
dan hidup, interaksi dua arah Audio-Visual. Model Norwegia memiliki tradisi
panjang menggabungkan antara sistem pembelajaran jarak jauh dengan selingan
kelas tradisional yang langsung bertatap muka (Rekkedal, 1994).
Hilary
Perraton (1988) mendefinisikan peran guru dalam pembelajaran jarak jauh. Ia
bertatap muka dengan mahasiswa jarak jauh, maka ia menjadi fasilitator
pembelajaran, dan bukan seorang komunikator informasi. Sistem pendidikan jarak
jauh melibatkan interaktifitas tingkat tinggi antara guru dan peserta didik,
bahkan itu dapat terjadi di pendesaan dan masyarakat terpencil mungkin
dipisahkan jarak ribuan kilometer. “Office of Technology
Assesment menekankan pentingnya inter- aktivitas : pembelajaran jarak jauh
memungkinkan siswa untuk mendengar dan memungkinkan melihat guru-guru, untuk
bereaksi terhadap siswa mereka melalui komentar dan pertanyaan”.
Virtual
komunitas pembelajaran yang dapat
dibentuk, di mana mahasiswa dan peneliti diseluruh dunia yang merupakan bagian
dari kelas yang sama atau kelompok studi dapat menghubungi satu sama lain kapan
saja siang atau malam untuk berbagai pengamatan, informasi, dan keahlian satu
sama lain ( VanderVen, 1994: Wolfe, 1994).
3.
Sistem
Pendidikan Jarak Jauh
Secara tradisional,
guru/dosen berpikir bahwa peserta didik dalam pendidikan jarak jauh sebagai
orang dewasa. University of South Africa (UniSA), di Pretoria, Pembelajaran
jarak jauh disiarkan televisi Program Bahasa Jepang, dikembangkan di North
Carolina State University, memberikan instruksi dalam bahasa jepang untuk
sepuluh perguruan tinggi dan universitas di lima negara bagian Tenggara
(Clifford, 1990)
Pada Sekolah
dasar dan tingkat menengah, pembelajaran jarak jauh biasanya mengambil bentuk
modul pengayaan Kurikulum dan proyek telekomunikasi berkelanjutan. Modul lain
berbasis televisi dengan guru sebagai fasilitator. Siswa bekerja dalam kelompok
yang bekerja secara kolaboratif dalam lingkungan belajar jarak jauh (Pacific
mountain Network, 1994).
Teknologi
merupakan bagian integral dari pendidikan jarak jauh, setiap program harus
fokus pada kebutuhan instruksional peserta didik, bukan pada teknologi itu
sendiri. Faktor yang paling penting untuk keberhasilan pembelajaran jarak jauh
adalah perhatian, guru yang bersangkutan percaya diri, berpengalaman, merasa
nyaman dengan peralatan, menggunakan media kreatif, dan mempertahankan
keakraban tingkat tinggi untuk berinteraksi dengan para siswa.
4.
Pertimbangan
Desain
Ada beberapa
hal yang perlu dipertimbangkan dalam pembelajaran jarak jauh. Willis (1992)
menggambarkan proses pengembangan instruksional untuk pendidikan jarak jauh,
terdiri dari tahap Desain, pengembangan, evaluasi, dan revisi. Agar pendidikan
jarak jauh efektif dalam pembelajaran, guru/dosen harus mempertimbangkan tidak
hanya tujuan, kebutuhan dan karakteristik guru dan siswa, tetapi juga isi,
persyaratan dan kendala teknis. Jika sistem pengiriman biasa diperlukan,
pembelajaran harus dapat diakses oleh semua peserta.
Materi dan
metode yang direvisi berdasarkan masukan dari instruktur, spesialis, konten,
dan peserta didik adalah proses yang berkelanjutan. Ketentuan harus dibuat
untuk meng-update terus-menerus pembelajaran yang berubah-ubah tergantung pada
informasi, untuk menjaga pokok persoalan selalu up to date dan relevan (Porter,
1994).
a)
Interaktivitas
Keberhasilan
sistem pendidikan jarak jauh melibatkan interaksi antara guru dan peserta didik,
antar siswa dan lingkungan belajar, dan di antara peserta didik sendiri, serta
pembelajaran aktif dikelas. McNabb (1994) mencatat bahwa mahasiswa merasa
aksesibilitas pembelajaran jarak jauh kurangnyua dialog dibandingkan dengan
tatap muka kelas.
Millbank (1994)
mempelajari efektivitas campuran audio plus video dalam pelatihan perusahaan.
Ketika ia memperkenalkan real-time interaktivitas, tingkat referensi peserta
pelatihan telah dibangkitkan dari sekitar 20 persen (menggunakan metode kelas
biasa) menjadi sekitar 75 persen. Elemen kunci dalam Porter’s (1994) proyek New
Directions di Distance Learning (NDDL) adalah peningkatan bahan belajar secara
mandiri melalui penggunaan teknologi komunikasi interaktif dan mediasi guru.
Interaksi
menggunakan berbagai bentuk, tetapi tidak hanya terbatas pada audio dan video,
atau semata-mata untuk interaksi guru-murid. Garrison (1990) berpendapat bahwa
kualitas dan integritas dari proses pendidikan tergantung pada keberlanjutan
dan komunikasi dua arah. Tanpa konektivitas, pembelajaran jarak jauh berubah
menjadi kursus korespondensi lama model studi bebas. Mahasiswa menjadi otonom
dan terisolasi dan akhirnya keluar dari konteks pembelajaran. Pendidikan jarak
jauh yang efektif tidak boleh menjadi independen dan terisolasi dalam bentuk
pembelajaran dan seharusnya mendekati ideal dari pengalaman belajar yang
otentik.
b)
Pembelajaran
Aktif
Sebagai peserta
aktif dalam proses belajar, peserta didik dipengaruhi oleh cara bagaimana
mereka berhubungan dengan materi yang harus dipelajari. Peserta didik harus
memiliki rasa memilikiterhadap tujuan pembelajaran (Save ry & Duffy, 1995).
Mereka harus sama-sama mau dan mampu menerima pesan instruksional. Studi
Salamon’s menemukan bahwa usaha mental seseorang pelajar yang akan berinvestasi
dalam tugas belajar tergantung pada persepsi sendiri yang terdiri dari dua
faktor.
1)
Relevansi
dari kedua media dan pesan
2)
Kemampuannya
untuk membuat sesuatu yang bermakna keluar dari materi yang disampaikan.
c)
Visual
Imagery (Citra Visual)
Para peneliti
secara konsisten telah menemukan bahwa televisi instruksional dapat memotivasi
dan memikat siswa, dan merangsang minat dalam proses belajar. Ravitch (1987)
memperingatkan kita terhadap efek samping yang tidak disengaja televisi
pendidikan pada khususnya dan juga “edutaiment” pada umumnya. Ketergantungan
pada visual yang menarik dapat mendistorsi kurikulum dengan memfokuskan
perhatian siswa pada provokatif menghibur dan fitur presentasi daripada
mendorong analisis mendalam makna yang mendasari mereka.
White (1987)
menambahkan bahwa jika isu-isu kompleks disajikan dalam unit pendek, melalui
gambar yang kuat dapat terjadi dalam urutan apapun, hasil akhirnya akan membuat
penyederhanaan dan pendangkalan. Siswa harus belajar untuk membedakan antara
“sampah” informasi dan informasi berkualitas, dapat menilai keandalan atau
bias, untuk mengidentifikasi distorsi dan sensasi, untuk membedakan fakta dari
persuasi, dan memahami bagaimana bentuk informasi yang dibawa oleh teknologi
itu sendiri.
d)
Effective
Communication (Komunikasi Efektif)
Ben Shneiderman
(1992) memperingatkan semua desainer instruksional untuk memulai dengan pemahaman
yang dimaksudkan pengguna, dan untuk mengenali mereka sebagai individu yang
berbeda pandangan dari desainer itu sendiri. Horton (1994) menyatakan aturan
penting untuk perancang instruksional visual : “berkomunikasi kepada orang lain
sejatinya dibuat sebagaimana mereka akan berkomunikasi kepada diri mereka
sendiri”. Dengan kata lain jika Anda ingin pembelajar membangun sebuah ide yang
serupa dengan Anda, kemudian menggunakan sebuah gambar untuk presentasi, akan
memicu ide serupa dalam benak pelajar.
Sejatinya tidak
ada dua peserta didik akan membentuk ide yang sama, juga tidak mungkin bahwa
gagasan mereka akan menjadi sama dengan perancang.
e)
Metode
dan Strategi
Guru
membutuhkan pelatihan dalam desain pesan instruksional, strategi untuk
memberikan instruksi didepan kamera,
metode diversifikasi jenis presentasi, memilih berbagai campuran dari kegiatan
guru-murid dan interaksi, memilih situasi dan contoh yang relevan dengan
murid-murid mereka, dan menilai tingkat pembelajaran yang seharusnya dicapai
oleh siswa dalam pembelajaran jarak jauh.
Mereka juga
perlu banyak dibimbing, menangani praktik pengembangan dan memberikan perhatian
khusus pada penggunaan audio, full-motion video, grafik dan teks didepan
penonton yang hidup. Strategi seperti menggunakan OHP yang lebih sedikit dan
lebih banyak video bergerak, “berbicara kepala” dengan situs video, menggunakan
percobaan, menggabungkan teks dan seni grafis, serta pedoman lainnya untuk
produksi video yang efektif juga berharga (Willis, 1993).
f)
Media
Berbasis Tantangan
Pengajaran
instruksional khusus bahasa asing menyajikan tantangan, bukan hanya kurangnya
interaksi langsung dua-arah yang menjadi ciri banyak program pendidikan jarak
jauh, tetapi juga karena hilangnya efek visual dalam video-conference terutama
gerakan-gerakan bibir. Hal ini dapat diatasi dengan memberikan oral siswa
praktik dan umpan balik melalui percakapan telephon dengan instruktur, dan
strategi pengajaran yang mendorong dialog guru-siswa (Clifford, 1990; Bruce
& Shade, 1994).
Pembelajaran
jarak jauh yang efektif memerlukan persiapan yang matang, serta menyesuaikan
strategi pembelajaran tradisional untuk lingkungan belajar baru yang sering
kekurangan petunjuk visual.
Willis (1993)
menggambarkan strategi yang efektif dalam pembelajaran jarak jauh : yaitu
mengembangkan metode yang tepat umpan balik dan penguatan, mengoptimalkan
konten dan kecepatan, beradaptasi dengan gaya belajar siswa yang berbeda,
dengan menggunakan studi kasus dan contoh-contoh yang relevan denga target audiens, menjadi ringkas, melengkapi
pembelajarannya dengan mencetak informasi, dan menyesuaikan pembelajaran.
McNabb (1994)
mencatat bahwa lebih banyak penelitian eksperimental diperlukan dalam bidang
seleksi media dimana para peneliti dapat membandingkan efektifitas teknologi
berbeda dengan isi serupa yang mengantarkan pada khalayak serupa. Akan sangat
berguna untuk menganalisis isi dari modul pembelajaran, tujuan dari mahasiswa,
guru, dan sekolah itu sendiri, mengimplementasikan beberapa teknologi yang
berbeda, dan menentukan faktor apa yang mempengaruhi kesuksesan pengiriman
pesan pembelajaran.
g)
Inguiry
Pembelajaran
Guru memerlukan
adanya pembelajaran dengan teknik terbaru, karena ia menjadi fasilitator dari
pembelajaran penemuan untuk murid-muridnya, melalui wacana progresif. Bahkan
jika seorang guru terlatih dan santai menggunakan peralatan didalam kelas, ia
masih memerlukan pelatihan untuk mengintegrasikan startegi pengajaran baru
dengan teknologi.
Office of
teknology Assesment (US. Kongres, 1998) dalam studi mereka diruang kelas dengan
menggunakan “Petualangan Mimi” program multimedia, peneliti mengamati bahwa
guru-guru cenderung untuk menanyakan mayoritas pertanyaan, dihargai siswa untuk
menebak dengan benar, dan diperlukan terus-menerus bantuan dalam menjaga iklim
kelas yang menekankan penalaran dibandingkan jawaban yang benar.
h)
Teamwork
Kemajuan guru
sebagai adapter awal teknologi bisa menjadi agen perubahan bagi teman-teman
mereka (Pacific mountain Network,1994). Mereka dapat mendukung guru-guru lain
dengan perencanaan kedepan sebagai sebuah kelompok, dan bekerja denga modul
pembelajaran dan peralatan sebelum menggunakannya di dalam kelas. Fasilitator
dapat mencoba belajar melalui rekaman video, interaktif sesuai gaya belajar
peserta didik tertentu, dan kemudian mengintegrasikan program nyata ke dalam
jadwal mereka dikemudian hari.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar